Selasa, 04 September 2012

Mey Ziyadah



Oleh Mei Rahmawati


Mey Ziyadah atau dijuluki dengan An Nabighoh Mey, salah satu tokoh pembangkit modernisme Arab. Memulai karier sebagai kolumnis muda sekaligus penyair berbahasa Perancis. Orasinya sangat memukau ketika dipercaya untuk mendeklamasikan puisi Khalil Gibran, pada perayaan para penyair di Opera 24/4/1923 bersama kawan karibnya, Khalil Matron. Orasi Mey dikenal dengan suara lantang, lafad Arabnya mengalir dan penjelasannya yang gamblang membuat para penonton terkagum-kagum. Perayaan ini dihadiri para penulis dan penyair Arab.

Di dunia kesusastraan, Mey dikenal sebagai penyair hebat berbahasa perancis, karya momentalnya berjudul "Azahir Hilm" pada tahun 1911, sehingga Khalil Matron sempat menuliskan biografi dia berjudul Izys el Kouba (nama samaran Mey) sebagai lambang penghormatan. Izys (dalam bahasa Yunani dewa Iziris) masa Mesir kuno berarti dewa matahari dan gereja el Kouba, lambang ini sebagai simbol kecerdasan Mey Ziyadah yang berarti beliau memberi pencerahan rakyat Mesir. Meski beliau seorang kristiani muda, selama beliau  mencari ilmu di  di universitas  Mesir, ia juga mengkaji keilmuan Islam seperti bahasa Arab, al Quran, bahasa al Quran, ulum al Qur’an , tak ketinggalan sejarah dan filsafat.

Lingkungan yang apik dan strategis, tidak hanya membantu Mey untuk mengembangkan bakatnya tapi juga pengalamannya. Semangat untuk itu terbukti dari inisiatif untuk mengadakan perkumpulan dengan kawan-kawan seperjuangannya, para penyair berbahasa Arab, setiap satu minggu sekali di kediaman beliau yang diberi nama dengan "Nadwah Tsulatsa" yang berjalan selama 20 tahun. Disini ia membangunkan para sastrawan dan budayawan. Diantara mereka yaitu Ahmad Luthfi Sayed, Thoha Husein, Abbas Mahmud al Aqqad dan Syekh Muhammad Musthofa Abdurrazik juga Waliyuddin. Waliyuddin, dimana dia dulu terinspirasi dari Mey untuk menjadi pakar kebudayaan dan syair,  mendendangkan dengan dua bait  syair:

Wahai Mey, kau yang diantara pena-pena dan buku-buku,
bagai matahari yang berada diantara bulan dan bintang.
Aku jadi malu dengan syair dan sastraku,
niscaya kan kuperbaiki sastra arabku  yang keruh itu.”
                                   
Tidak sedikit dari tokoh ilmuwan, kebudayaan dan kepenyairan seperti Kholil Matron, Anton al Gameel, Yakub Shorouf dan Ahmad Syauqi, yang ketagihan dengan nadwah Tsulatsa. Sebagai bentuk penghormatan, Ahmad Syauqi pun mendendangkan lagu untuk mengilustrasikan karakter betapa merdunya suara Mey, yang dipersembahkan dalam acara seminarnya:
           
Aku bertanya pada diriku sendiri tentang Sibani
Indah penciptaannya nan bagus isinya.
Aku melihat dua kebaikan dalam dirinya,
seakan dua kebaikan itu antara risau dan rindu.
Jika aku menuangkan akalku padanya,
dan ia tersenyum pada tuangan itu, maka aku bisa gila.”

Mey dan Shodik Rofi’i

Tidak hanya Mahmud Abbas al Aqqad, Musthofa Shodik Rofi’I pun jatuh cinta kepada Mey. Menurutnya, semangat merealisasikan cita-cita menjadi penyair, tersemangati dari Mey. Terbukti beberapa karya beliau untuk Mey, seperti yang berjudul "Dedaunan Mawar, Kabut Merah dan Surat Kesedihan". Namun, cinta mereka bertepuk sebelah tangan dan pada akhirnya tidak sedikit surat beliau yang berisi kerisauan dan kemarahan atas penolakan cintanya. Misal salah satu syair beliau yang pernah dikirimkan terhadap Mey, diterbitkan pada tanggal 7 JUli 1933:

           
Wahai Tiang kapal di tiupan tepian Nil
yang berjalan menunduk dari ujung ke ujung
seandainya dia melihatmu, tentu hati ini menjemputmu
maka hati ini merasakannya melewati riakan air Nil
Tidak ada cinta jika tak ada yang dicinta
Aku berharap selamanya ada cinta walau cintanya meninggalkanku.”


Mey selalu berkumpul diantara tokoh-tokoh besar di markasnya. Walau dia tergolong masih muda dintara mereka, namun hal tersebut tidak sulit untuk bergaul  diantara penyair lainnya, karena kepribadiannya yang sopan, berbudaya, bahasa yang fushah juga wawasannya luas.

 Tidak hanya dikalangan laki laki saja, orasi Mey juga ditujukan pada kaum perempuan dalam jurnal perempuan Mesir dan majalah, seperti; al Ahram, al Mahrusah, az Zuhur, al Hilal, al Moqotathof dan yang lainnya. Beliau juga mendapat penghargaan besar dari para tetamu atas karya tulis dalam dunia syair dan kebudayaan yang mencapai lima bahasa, baik sentuhan analisa kebudayaan kuno atau modern. Hal tersebut membawa pengaruh perubahan besar di dunia, khususnya di wilayah arab. Karena bahasa merupakan alat perubahan zaman.

Masa kegemilangannya dicapai dalam perjalanan hidup Mey di  negara Mesir, Lebanon dan Syiria. Banyak keterputusan waktu dia bersama orang-orang yang dekat dengannya, seperti kematian ayahnya, Ilyas Ziyadah pada tahun 1931, Gibran Khalil Gibran, seorang penyair yang sangat ia cintai dan yang dijadikan figur, sampai-sampai pernah menjalin hubungan asmara, cinta korespondensi selama 20-an tahun, walau tanpa bertatap muka. Juga kematian sang ibu, Nuzhah Muammar pada tahun 1932. Kisah kesedihan Mey Ziyadah tentang kematian orang-orang yang dicintainya membekas dalam keguncangan jiwa dan akal Mey pada tahun 1936. Hal tersebut tidak lama. Beberapa kawan karibnya menolong dari kegelapan batinnya, seperti Marun Ghonim, seorang psikater, Amin Raihan, filosof muda asal Amerika dan Fuad Habis, pimred jurnal al Maksuf dn al Jaziri.

Bukti dari semangatnya yang tak pernah padam adalah pada suatu saat Mey mendapat undangan mengisi seminar, padahal Mey masih dalam keadaan berbaring di rumah sakit dokter Reiz di Beirut. Tapi ia bersikukuh untuk menghadiri undangan tersebut, tepatnya di hall West, universitas Amerika di Beirut pada tahun 1938 yang dihadiri universitas al Urwah al Wustqo. Tidak mungkin ia tidak hadir di tengah kawan-kawan seperjuangannya seperti sejarawan besar DR.Qustantin Zareq,Wastlah dari para pemudi Lebanon dan budayawan bangsawan arab, karena hal tersebut mengurangi sikap penghormatan bagi mereka.

Sholun Mey Ziyadah

Sholun atau semacam sanggar tempat dialog ini, didirikan Mey beserta kawa-kawannya. Organisasi ini tumbuh dengan visi misi merubah tatanan sosial dari segala bidang. Pandangan kolot atau kuno membuat perkembangan sosial masyarakat hancur, sehingga diharapkan bagi anggota ada pemahaman jiwa nasionalis baru secara mendalam. Pergerakan organisasi ini bedriri secara independen, bebas dari bau politik, baik pada masa kerajaan Usmaniyah atau pendudukan Inggris. Anggota yang terdiri dari para pergerakan dan budayawan, yang keluar dari para intelek sekuleris atau pembesar intelek Eropa. Selain itu, bervisi misi menggemborkan kebebasan individu dan persamaan, khususnya mengusung kebebasan perempuan. Walau kita tahu banyak bahwasanya Eropa sudah besar kemajuannya, terbentuk dengan cara pandang logika teratas. Dimana cara pandang tersebut yang banyak keterpengaruhannya dan dilahirkan oleh para budayawan.

Para agamawan dan ilmuwan juga turut andil dalam tatanan sosial bersama para budayawan dalam suatu majlis dan seminar terbuka untuk saling bertukar pikiran. Banyak permasalahan sekitar yang perlu diselesaikan bagi mereka, terkhusus menolak tradisi yang dirasa menjadi penghambat jalannya "kemajuan" bangsa dari kegelapan. Terbukti dari hasil kemajuan perempuan dengan memulai mengonsep kurikulum pembelajaran bagi kaumnya. Seperti belajar menulis bebas, membuat jurnal dan universitas. Artinya disini mereka berjuang bagaimana caranya supaya tidak jauh dari kehidupan bermasyarakat.

Mey Ziyadah mejadikan Sholun bukan sebagai tempat kongkow bagi para budayawan perempuan saja tapi lebih dari makna  tersebut. Para laki-laki pun mampu bergabung di sana, sebagai bukti perlawanan atas tradisi kalau bukan hanya laki-laki merubah dunia. Penyair Mesir, Ismail Shobry berkata, bahwa awal kali pemberontak tradisi adalah Sholun Mey Ziyadah. Pujian beliau tertulis berikut ini: "Banyak perkumpulan yang hanya mampu menaungi satu jenis kelamin saja seperti majlis kami. Bagaimana jadinya? Suasananya saja berbeda seperti ada pergerakan radikal dan suara mendidih, diskusi panas yang menimbulkan peristiwa pedih dan kalimat menurukan seseorang, yang berakibat rasa kurang memiliki. Kesimpulannya, saya pernah menghadiri Sholun Mey. Tidak sebatas perempuan, pergerakan ini bervariasi, menampilkan suara yang berasa, diskusi berproduktif, perbincangan sederhana/sopan dan kalimat menggugah, sehingga menjadikan Sholun tersebut seseorang yang merasa ada untuk diri sendiri dan orang lain..".

Beginilah realita tujuan Sholun didirikan sebagai perubahan dari rakyat yang 
iam, perubahan ruh zaman dan menggugah rasa cinta yang sempurna bagi rakyat bagai keindahan  prosa dan puisi.

Membakar Tradisi lama

Sebagaimana diketahui, bukan Mey Ziyadah saja yang berjuang atas pemberontakan tradisi lama. Al Amirah Nazili Fadhil (kasta tertinggi) dari  Kairo, Alexandra Avirenoa juga mayoritas perempuan kristen dari Lebanon dan Syiria, juga teman-teman seangkatan beliau. Mereka semua pendiri sekolahan sastra Eropa yang dihasilkan dari kongkow di Sholun.

Tidak puas bagi dia sebagai kristiani yang taat dan mahasiswi berprestasi dari alumnus mahasiswi universitas Tabsyiriah sastra Eropa, tapi menjadikan prestasi sastranya bagian dari faktor motivasi demi mewujudkan cita-citanya untuk mengajarkan pada para perempuan sejamannya, sebagai manusia berada dalam tingkatan tertinggi berilmu dan berbudaya yang beradab. Hal tersebut diajarkannya di universitas-universitas dan sekolahan. Selain itu, ia juga merambah dalam dunia jurnalistik/tulis-menulis. Awal kali pertama, karyanya termuat di koran milik ayahnya sekaligus kesempatan dia untuk bertemu di tengah-tengah para jurnalis dan sastrawan.

Sholun Mey dikenal sebagi Sholun satu-satunya yang berada di Kairo waktu itu, sehingga  menjadi kiblat perjuangan  bagi yang lain. Kepribadian yang tangguh, ia tidak mau kepemimpinannya diambil kaum laki-laki.

Membakar tradisi adalah bentuk dari tujuan Sholun didirikan dibawah perlindungannya. Menjelaskan perbedaan makna modernisasi dan tradisi, semua itu tema yang difikirkan Mey Ziyadah selama 20 tahun bersama para pemikir, agamawan dan sosialis untuk bertukar pikiran, seperti duktur Shabili Shamil dari pecinta madzhab Darwin dan al ‘Alamah  al Azhary Musthofa Abdurrazak. Sedang dari para penyair Musthofa Shodik Rofi’I, kritikus syair Abbas Mahmoud al Aqqad. Orang-orang demokrat tak ketinggalan bergabung seperti Thoha Husein, dari pihak Aristokrat al Amirah Nazili Fadhil. Demikian warna-warni internal Sholun Mey Ziyadah.

Kairo, 4 September 2012



1 komentar:

  1. Wah, tulisan yang renyah di tengah kekosongan pengetahuan saya tentang kepenyairan Arab. Akan lebih romantis mbak kalau tulisannya dibubuhi dengan beberapa penggal syair dari Mey.

    Tak sabar nunggu tulisan selanjutnya.

    Majid

    BalasHapus