Oleh Mei Rahmawati
Mey Ziyadah atau dijuluki
dengan An Nabighoh Mey, salah
satu tokoh pembangkit modernisme Arab.
Memulai karier sebagai kolumnis muda sekaligus penyair berbahasa Perancis.
Orasinya sangat memukau ketika dipercaya untuk mendeklamasikan puisi Khalil Gibran, pada perayaan
para penyair di Opera 24/4/1923 bersama kawan karibnya, Khalil Matron. Orasi Mey dikenal dengan suara lantang, lafad Arabnya mengalir dan
penjelasannya yang gamblang membuat para penonton terkagum-kagum. Perayaan ini
dihadiri para penulis dan penyair Arab.
Di dunia kesusastraan, Mey dikenal
sebagai penyair hebat berbahasa perancis, karya momentalnya berjudul "Azahir
Hilm" pada tahun 1911, sehingga Khalil Matron sempat menuliskan
biografi dia berjudul Izys el Kouba (nama samaran Mey) sebagai
lambang penghormatan. Izys (dalam bahasa Yunani dewa Iziris) masa Mesir kuno
berarti dewa matahari dan gereja el Kouba, lambang ini sebagai simbol
kecerdasan Mey Ziyadah yang berarti beliau memberi pencerahan rakyat Mesir.
Meski beliau seorang kristiani muda, selama beliau mencari ilmu di di universitas
Mesir, ia juga mengkaji keilmuan Islam seperti bahasa Arab, al Quran, bahasa
al Quran, ulum al Qur’an , tak ketinggalan sejarah dan filsafat.
Lingkungan yang apik dan strategis, tidak hanya membantu Mey untuk mengembangkan bakatnya tapi juga pengalamannya. Semangat untuk itu terbukti dari
inisiatif untuk mengadakan perkumpulan dengan kawan-kawan seperjuangannya, para
penyair berbahasa Arab, setiap satu minggu sekali di kediaman beliau yang
diberi nama dengan "Nadwah Tsulatsa" yang berjalan selama 20 tahun.
Disini ia membangunkan para sastrawan dan budayawan. Diantara mereka yaitu
Ahmad Luthfi Sayed, Thoha Husein, Abbas Mahmud al Aqqad dan Syekh Muhammad
Musthofa Abdurrazik juga Waliyuddin. Waliyuddin, dimana
dia dulu terinspirasi dari Mey untuk menjadi pakar kebudayaan dan syair, mendendangkan dengan dua
bait syair:
“Wahai Mey, kau yang diantara
pena-pena dan buku-buku,
bagai matahari yang
berada diantara bulan dan bintang.
Aku jadi malu dengan
syair dan sastraku,
niscaya kan kuperbaiki
sastra arabku yang keruh itu.”
Tidak sedikit dari tokoh ilmuwan,
kebudayaan dan kepenyairan seperti Kholil Matron, Anton al Gameel, Yakub
Shorouf dan Ahmad Syauqi, yang ketagihan dengan nadwah Tsulatsa. Sebagai
bentuk penghormatan,
Ahmad Syauqi pun mendendangkan lagu untuk mengilustrasikan karakter betapa merdunya suara Mey, yang dipersembahkan dalam acara seminarnya:
“Aku
bertanya pada diriku sendiri tentang Sibani
Indah penciptaannya
nan bagus isinya.
Aku melihat dua
kebaikan dalam dirinya,
seakan dua kebaikan
itu antara risau dan rindu.
Jika aku menuangkan
akalku padanya,
dan ia tersenyum
pada tuangan itu, maka aku bisa gila.”
Mey dan Shodik Rofi’i
Tidak hanya Mahmud
Abbas al Aqqad,
Musthofa Shodik Rofi’I pun jatuh cinta kepada
Mey. Menurutnya, semangat merealisasikan cita-cita menjadi penyair,
tersemangati
dari Mey. Terbukti beberapa karya beliau untuk
Mey, seperti yang berjudul "Dedaunan Mawar, Kabut Merah dan Surat
Kesedihan". Namun, cinta mereka bertepuk sebelah tangan dan pada akhirnya tidak sedikit surat beliau yang berisi kerisauan dan
kemarahan atas penolakan cintanya. Misal salah satu syair beliau yang pernah dikirimkan terhadap Mey, diterbitkan pada tanggal 7 JUli
1933:
“Wahai Tiang
kapal di tiupan tepian Nil
yang berjalan menunduk dari ujung ke ujung
seandainya dia melihatmu, tentu hati ini
menjemputmu
maka hati ini merasakannya melewati riakan
air Nil
Tidak ada cinta jika tak ada yang dicinta
Aku berharap selamanya ada cinta walau
cintanya meninggalkanku.”
Mey selalu berkumpul diantara tokoh-tokoh besar di markasnya.
Walau dia tergolong masih muda dintara mereka, namun hal
tersebut tidak sulit untuk bergaul diantara penyair lainnya, karena kepribadiannya yang sopan, berbudaya, bahasa yang
fushah juga wawasannya luas.
Tidak hanya dikalangan laki laki saja, orasi Mey juga
ditujukan pada kaum perempuan dalam jurnal perempuan Mesir dan
majalah, seperti; al Ahram, al
Mahrusah, az Zuhur, al Hilal, al Moqotathof dan yang lainnya. Beliau juga mendapat
penghargaan besar dari para tetamu atas karya tulis dalam
dunia syair dan kebudayaan yang mencapai lima bahasa, baik sentuhan analisa
kebudayaan kuno atau modern. Hal tersebut membawa pengaruh perubahan besar di
dunia, khususnya di wilayah arab. Karena bahasa
merupakan alat perubahan zaman.
Masa kegemilangannya dicapai dalam
perjalanan hidup Mey di negara Mesir,
Lebanon dan Syiria. Banyak keterputusan waktu dia bersama
orang-orang yang dekat dengannya, seperti kematian ayahnya, Ilyas Ziyadah pada
tahun 1931, Gibran Khalil Gibran, seorang penyair yang sangat ia cintai dan
yang dijadikan figur, sampai-sampai pernah menjalin hubungan asmara, cinta
korespondensi selama 20-an tahun, walau tanpa bertatap muka. Juga kematian sang
ibu, Nuzhah Muammar pada tahun 1932. Kisah kesedihan Mey Ziyadah tentang
kematian orang-orang yang dicintainya membekas dalam keguncangan jiwa dan akal
Mey pada tahun 1936. Hal tersebut tidak lama. Beberapa kawan
karibnya menolong dari kegelapan batinnya, seperti Marun
Ghonim, seorang psikater, Amin Raihan, filosof muda
asal Amerika dan Fuad Habis, pimred jurnal al Maksuf dn al
Jaziri.
Bukti dari semangatnya yang tak
pernah padam adalah pada suatu saat Mey mendapat undangan mengisi seminar,
padahal Mey masih dalam keadaan berbaring di rumah sakit dokter Reiz di Beirut.
Tapi ia bersikukuh untuk menghadiri undangan
tersebut, tepatnya di hall West, universitas Amerika di Beirut pada tahun 1938
yang dihadiri universitas al Urwah al Wustqo. Tidak mungkin ia tidak hadir di
tengah kawan-kawan seperjuangannya seperti sejarawan besar DR.Qustantin
Zareq,Wastlah dari para pemudi Lebanon dan budayawan bangsawan arab, karena hal
tersebut mengurangi sikap penghormatan bagi mereka.
Sholun Mey Ziyadah
Sholun atau semacam
sanggar tempat dialog ini, didirikan Mey beserta kawa-kawannya. Organisasi
ini tumbuh dengan visi misi merubah tatanan sosial dari segala bidang. Pandangan
kolot atau kuno membuat perkembangan sosial masyarakat hancur, sehingga
diharapkan bagi anggota ada pemahaman jiwa nasionalis baru secara mendalam. Pergerakan
organisasi ini bedriri secara independen, bebas dari bau
politik, baik
pada masa kerajaan Usmaniyah atau pendudukan Inggris. Anggota yang terdiri dari para pergerakan dan budayawan, yang
keluar dari para intelek sekuleris atau pembesar intelek Eropa.
Selain itu, bervisi misi menggemborkan kebebasan
individu dan persamaan, khususnya mengusung kebebasan perempuan. Walau kita
tahu banyak bahwasanya Eropa sudah besar kemajuannya, terbentuk dengan cara pandang
logika teratas. Dimana cara pandang tersebut yang banyak
keterpengaruhannya dan dilahirkan oleh para budayawan.
Para agamawan dan ilmuwan juga turut
andil dalam tatanan sosial bersama para budayawan dalam suatu majlis dan
seminar terbuka untuk saling bertukar pikiran. Banyak
permasalahan sekitar yang perlu diselesaikan bagi mereka, terkhusus menolak
tradisi yang dirasa menjadi penghambat jalannya "kemajuan" bangsa
dari kegelapan. Terbukti dari hasil kemajuan perempuan dengan memulai mengonsep
kurikulum pembelajaran bagi kaumnya. Seperti belajar menulis bebas, membuat
jurnal dan universitas. Artinya disini mereka berjuang bagaimana caranya supaya
tidak jauh dari kehidupan bermasyarakat.
Mey Ziyadah mejadikan Sholun bukan
sebagai tempat kongkow bagi para budayawan perempuan saja tapi lebih dari
makna tersebut. Para laki-laki pun mampu
bergabung di sana, sebagai bukti perlawanan atas tradisi kalau bukan hanya
laki-laki merubah dunia. Penyair Mesir, Ismail Shobry berkata, bahwa awal kali
pemberontak tradisi adalah Sholun Mey Ziyadah. Pujian beliau tertulis berikut ini: "Banyak perkumpulan yang hanya mampu
menaungi satu jenis kelamin saja seperti majlis kami. Bagaimana jadinya? Suasananya saja berbeda seperti ada pergerakan radikal
dan suara mendidih, diskusi panas yang menimbulkan peristiwa pedih dan kalimat
menurukan seseorang, yang berakibat rasa kurang memiliki.
Kesimpulannya, saya pernah menghadiri Sholun Mey. Tidak sebatas perempuan,
pergerakan ini bervariasi, menampilkan suara yang berasa, diskusi berproduktif,
perbincangan sederhana/sopan dan kalimat menggugah, sehingga menjadikan Sholun
tersebut seseorang yang merasa ada untuk diri sendiri dan orang lain..".
Beginilah realita tujuan Sholun
didirikan sebagai perubahan dari rakyat yang
iam, perubahan ruh zaman dan menggugah rasa cinta yang
sempurna bagi rakyat bagai keindahan
prosa dan puisi.
Membakar Tradisi lama
Sebagaimana diketahui, bukan Mey Ziyadah saja yang berjuang atas pemberontakan tradisi lama.
Al Amirah Nazili Fadhil (kasta tertinggi) dari
Kairo, Alexandra Avirenoa juga mayoritas perempuan kristen dari Lebanon
dan Syiria, juga teman-teman seangkatan beliau. Mereka semua pendiri sekolahan
sastra Eropa yang dihasilkan dari kongkow di Sholun.
Tidak puas bagi dia
sebagai kristiani yang taat dan mahasiswi berprestasi dari alumnus mahasiswi
universitas Tabsyiriah sastra Eropa, tapi menjadikan prestasi sastranya bagian
dari faktor motivasi demi mewujudkan cita-citanya untuk mengajarkan pada para
perempuan sejamannya, sebagai manusia berada dalam tingkatan tertinggi berilmu
dan berbudaya yang beradab. Hal tersebut diajarkannya di universitas-universitas
dan sekolahan. Selain itu, ia juga merambah dalam dunia
jurnalistik/tulis-menulis. Awal kali pertama, karyanya termuat di koran milik
ayahnya sekaligus kesempatan dia untuk bertemu di tengah-tengah para jurnalis
dan sastrawan.
Sholun Mey dikenal
sebagi Sholun satu-satunya yang berada di Kairo waktu itu, sehingga menjadi kiblat perjuangan bagi yang lain. Kepribadian yang tangguh, ia
tidak mau kepemimpinannya diambil kaum laki-laki.
Membakar tradisi
adalah bentuk dari tujuan Sholun didirikan dibawah perlindungannya. Menjelaskan
perbedaan makna modernisasi dan tradisi, semua itu tema yang difikirkan Mey
Ziyadah selama 20 tahun bersama para pemikir, agamawan dan sosialis untuk
bertukar pikiran, seperti duktur Shabili Shamil dari pecinta madzhab Darwin dan
al ‘Alamah al Azhary Musthofa
Abdurrazak. Sedang dari para penyair Musthofa Shodik Rofi’I, kritikus syair
Abbas Mahmoud al Aqqad. Orang-orang demokrat tak ketinggalan bergabung seperti
Thoha Husein, dari pihak Aristokrat al Amirah Nazili Fadhil. Demikian
warna-warni internal Sholun Mey Ziyadah.
Kairo, 4 September 2012
Wah, tulisan yang renyah di tengah kekosongan pengetahuan saya tentang kepenyairan Arab. Akan lebih romantis mbak kalau tulisannya dibubuhi dengan beberapa penggal syair dari Mey.
BalasHapusTak sabar nunggu tulisan selanjutnya.
Majid