Kamis, 27 September 2012

Pak Pemerintah dan Pak Pengusaha, Tolong Dengarkan Kami Para Tani!


Oleh Mei Raahmawati

Indonesia terkenal dengan sebutan negeri agraris.  Sawah dan ladang terbentang luas. Sengkedan tersusun rapi, kotak-kotak dan hijau segar warnanya. Setiap pagi buta, tidak sedikit bapak dan bu tani berbondong-bondong membawa cangkul, arit dan sapi atau kerbau untuk dibawa ke sawah.  Dengan senyum semangat, langkah kaki menancap jalanan berbatu dan  aspal  juga menapaki dataran tinnggi. Siang hari, mereka pulang kerumah. Sebagian petani penuh bahagia, mereka beristirahat menikmati hidangan yang dibungkus di rantang buatan istri dan anaknya, sambil menunggui sawah dan mengusir burung nuri, elang dan tikus sawah dengan tali dan orang-orangan.


Hidup tidak selamanya berjalan lurus, kadang di atas dan di bawah. Musim paceklik cukup menyulitkan petani untuk mengairi sawah. Untuk membeli air pun, tidak mungkin selamanya bergantung, karena air juga memerlukan uang untuk membelinya. Tidak hanya sawah yang memerlukan air. Ladang, kebun, tambak dan kolam buatan pun memerlukan air. Di sisi lain, permasalahan muncul di desa tetangga. Banyak  penebang liar menebang pohon gelondongan yang terletak di sekitar lereng pegunungan, untuk di angkut ke kota guna dijadikan mebel dan furniture lainnya. Akibatnya, halilintar dan hujan deras mengundang erosi dan tanah longsor. Para penduduk kehilangan kendali melihat rumah banjir, bahkan genting dan asbes atap rumah berterbangan terkena angin kencang. Sawah tergenang air karena sawah tadah hujan belum mampu mengatasi erosi tersebut.

Tanah di perkotaan cukup padat, selain itu membeli tanah permeter, harganya melangit. Salah satu faktor tersebut mengapa pengusaha kota berdatang ke desa untuk bertemu dengan tuan tanah. Sawah dan ladang dibeli untuk dijadikan perusahaan, alfamart, indomart, mall kecil atau pemukiman villa. Di lain sisi, tuan tanah tak berfikir panjang untuk menyewakan atau menjual tanah sawah yang sekiranya tandus. Maka mulailah sedikit demi sedikit desa menjadi sempit, banyak para transmigran berbondong pindah, bertugas di perusahaan itu. Listik masuk desa, aspal diperhalus menjadi jalan, pemukiman semakin padat, gunung berubah menjadi daratan dan jalan, angkutan umum pun tak ketinggalan.

Para petani kehilangan arah, tak ada lagi aktifitas pagi buta,  sapi dan kerbau di jual. Pada akhirnya, cukup sulit untuk mencari sesuap nasi karena kehilangan skill dan kerja mereka sebagai pemilik sawah dan buruh tani. Fungsi kerbau, sapi, cangkul dan traktor menjadi mesin dalam perusahaan. Sebagian penduduk mengadakan urbanisasi ke kota demi mencari sesuap nasi. Pekerjaan apapun mereka lakukan sesuai kemampuannya.

 Dari peristiwa diatas, kita bisa menyimpulkan ada dua problem. Problem pertama adalah segi intern, petani seyogyanya untuk menyimpan padi agak banyak di lumbung. Sehingga ketika paceklik melanda, ia sigap mengatasinya. Selain itu, dibuatkan sawah tadah hujan, reboisasi di beberapa daerah yang rawan erosi atau tanah gundul, sehingga cara ini cukup untuk mengatasi terjadinya banjir tinggi. Sengkedan pun berfungsi supaya air tidak menggenangi padi dan tanaman mereka.

Dari segi ekstern, kepala desa, cukup peka untuk memikirkan problem masyarakatnya, dengan mengadakan penyuluhan petani yang baik, atau memantau dari dekat. Selain itu, penebangan pohon secara liar. Problem ini tidak jauh beda dengan solusi diatas, karena harus ada kesinambungan baik dari masyarakat desa dan pemerintah. Pemerintah hendaknya menanggapi masalah ini secara cepat. Perlunya komunikasi aktif antara pemerintah atau menteri pertanian untuk membuat perundang-undangan bagi para pengusaha, supaya ada beberapa wilayah persawahan yang tidak gegabah dijadikan perusahaan, tidak semua sawah  karena hal ini untuk memudahkan penanggulangan, jika terjadi problem di kemudian hari. Seperti, produksi beras akan menurun, sehingga langka di pasaran dan melebar pada harga beras naik. Fungsi tenaga manusia berkurang karenadiganti fungsi mesin, mesin pun butuh suplai minyak dan oli untuk menjalankannya. Sumber daya manusia semakin merosot. Bahkan masyarakat asli kehilangan pekerjaan dan melukai HAM.

Ham adalah singkatan dari Hak Asasi Manusia. Hak yang paling mendasar adalah hak hidup secara aman, nyaman dan sentosa. Jika HAM dicerabut dari fungsinya, sama halnya dengan perbudakan. Bagaimana mungkin indonesia dengan cita-cita merdeka dari penjajah, tetapi terkena penjajahan di tangan bangsa pribumi. Ini hal yang sangat tidak berprikemanusiaan sesuai pancasila. Sumber daya alam semakin menurun dan sia-sia karena tenaga manusia belum diaktifkan secara positif dan etik, sehinnga punah, hancur dan diambil secara tidak wajar, liar dan berlebihan tidak sesuai Undang-undang dan aturan hukum.

Di sisi lain, para urban kesulitan mencari kerja sesuai dengan kemampuannya. Pemukiman kota padat semakin membludak, banyak para tuna wisma, rumah kardus di bawah jembatan, bahkan perempuan menjadi peran ganda dari seorang laki-laki. Ekonomi semakin morat-marit, pengangguran dimana-mana dan kemiskinan melanda. Terkait perempuan, fungsi ganda agak sulit melakukannya, karena keterbatasan skill yang dimiliki. Dampak tersebut melanda sisi keperempuanan juga. Banyak perempuan bekerja sebagai pelayan bar, tuna asusila, dan berdampak pada prostitusi dan aborsi. Permasalahan semakin rumit, melebar dan kemana-mana.

Dampak tingkat kemiskinan dan pengangguran meninggi, salah satu upaya pemerintah dan kementrian ekonomi mengadakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakt Mandiri pada tahun 2007 di Palu, SulTeng. Usaha ini dilakukan untuk memperkecil tingkat kemiskinan dan memberi luang lapangan kerja baik bagi petani kecil, petani pemilik, petani penggarap, buruh tani dan keluarga tani. Dengan tujuan yang sama departemen pertanian membuat Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian pada tahun 2008 dengan integrasi pertanian. Namun, usaha ini tidak lama bertahan, karena belum maksimal dalam pengendalian cuaca, air dan pupuk juga insektisida.

Sektor pertanian di Indonesia cukup luas, dari beberapa sawah bukan hanya milik petani kecil tetapi juga para pengusaha yang memiliki investasi agrobisnis di desa, yang membanting harga dan mengurangi nilai jual panen padi milik pengusaha kecil. Tulisan di atas berangkat dari  fakta para tani unjuk rasa di depan pemerintah dan perusahaan di benteng Kuto Besak, Palembang, untuk memperingati hari Tani pada tanggal 24 September. Hal yang sama dilakukan di Senayan Jakarta dan Sulawesi Tengah. Demo tersebut dilakukan pada masa peringatan hari Tani. Artinya di sini, pemerintah mempunyai PR cukup besar dalam menyayangi petani dan rakyat kecil pengangguran pada umumnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar