Kajian Hawa
Senin, 22 Oktober
2012
Tuhan
menciptakan makhluk hidup bernama manusia yang terdiri dari dua jenis yaitu
laki-laki dan perempuan. Masing-masing mempunyai karakter sangat berbeda baik
ditinjau dari segi fisik atau non fisik (perwatakan). Inilah dasar kehidupan,
dimana hidup ada saling melengkapi dari kekurangan masing-masing. Sering kali
dalam perwatakan, lelaki dengan karakter keras, berani, heroik, pejuang dan
pemikul beban rumah tangga. Sedangkan perempuan, lebih kevisualisasi yaitu
tubuh molek, lemah-lembut, rupawan, makhluk cengeng dan lemah , lembut hati dan
sayang bagi anak-anaknya.
Menjadi
asumsi ketika sebagian orang berargumen bahwa karakter positif jabang bayi anak
melekat dari ayah. Karena seorang ayah mempunyai kebagusan dalam perjuangan
lebih untuk menghidupi secara lahiriyah/nafkah bagi calon bayi dan batiniyah
dari hubungan seks dengan istri. Argumen tersebut belum cukup kuat karena hanya
bersifat asumsi yang kabur. Gen dan sel yang terbentuk selama kehamilan dan
sesudahnya, tergabung akibat dari persatuan jenis antara laki-laki dan
perempuan, sedangkan karakter, terbentuk dari sosio historis perkembangan anak
dan bersifat tobi’ah al nasl itu
hanyalah satu argumen yang relatif. Argumen tersebut bukan satu-satunya keputusan
final. Ada kemugkinan karakter anak terstimulasi dari ibu. Pada masa kandungan,
sang ibu hobi mendengarkan musik sehingga anak suka musik pula, atau terbentuk
dari sejak lahir baik mirip secara ilustrasi wajah ataupun karakternya karena
kedekatan hidup lebih lama dibuaian ibu.
Ilustrasi
perempuan dalam seni saling berkelindan antara ilustrasi dan realita. Ilustrasi
bisa diartikan fotokopi atau jiplakan jasad kita bukan atas dasar dibuat-buat.
Relief Yunani kuno Aristoteles berbadan membungkuk sambil menekukkan tangan kanannya,
ini berarti. seni membahasakan peradaban pada masanya. Artinya, tidak terbatas
manuskrip atau buku sejarah yang mampu untuk membahasakan peradaban, budaya,
kultural dan pemikiran pada jamannya.
Perempuan
hanya sebatas nama, ia terputus mengerucut dan hilang dari masa ke masa. Sehingga
metodologi estetika sangat penting untuk
mengikat pembahasan tema perempuan melalui seni dengan berbeda ideologi antara
pemikir, seniman, kapitalis, bisnisman dalam membincang tema perempuan. Dalam
argumen bebas, buku ini mengungkap bagaimana seorang seniman menuangkan ide-ide
imajinasi untuk mengilustrasikan perempuan. Seni mempunyai beberapa bagian. Ada
seni pahat, lukis, ukir, karikatur, syair, novel atau cerpen dan lain-lain. Selain
itu, menyentuh cabang dari ilmu filsafat yang mengakar pada beberapa disiplin
ilmu, diantaranya ilmu estetika (keindahan), sosiologi, antropologi,
dematografi dan fisiologi.
Perempuan
menjadi obyek imajinatif sang seniman semenjak 25.000 tahun yang lalu. Jaman
ketika itu, banyak peradaban di belahan bumi masih mengalami apa yang disebut
jaman batu (sedimentasi atau Finus). Kekhasan dimiliki pada masa
ini, pahatan perempuan di masa bebatuan tinggal dalam gua, tanpa baju, terlihat
sisi-sisi biologis alat vital, pinggul agak lebar dari laki-laki, bahkan tidak
ada gender laki-laki. Apakah ini berarti
perempuan mendominasi laki-laki? Tentu tidak. Nilai estetika pada masa ini, masih
bersifat lugu dan alami. Ahli
antropologi banyak terbantu untuk menemukan fosil dan perlengkapan perang atau
berburu hewan menggunakan hasil kerajinan mereka. Demikian sang seniman bebas
dari belenggu unsur politik dan pemikiran dan berekspresi melukiskan hasil
imajinasi. Namun, bagi seniman masa kini, atau beberapa pemikir berpendapat bahwa
seniman hendaknya tahu ada beberapa kode etik dalam berseni. Seperti tidak
diperbolehkan vulgar ketika dihadapkan dalam ruang lukisan simbol keagamaan,
misal menggambar Siti Maryam, ibu Isa as. Malah ada kesimpulan mitos atau
keyakinan entah mana yang benar, filosofi artefak dan bebatuan mengartikan
bahwa wujud di dunia pertama kali adalah perempuan. Sehingga beberapa aliran
sastrawan menyebutnya sebagai nilai sakralitas
para dewi yang menjaga dunia di gua selama ribuan tahun dan manusia pertama
kali adalah perempuan yang menyembah padaNya, sebagai tuhan, sumber segala
kehidupan.
Falsafah seni mulai mengalami peralihan dari
jaman batu ke jaman dewa-dewi dan kerajaan. Perempuan ditinggikan dengan simbol
dewa Ra bergender perempuan, lukisan di atas kepala Ra ada matahari bersemayam
di kepalanya, sedang memberi ilham untuk rakyat Mesir. Iziz, adalah tuhan kuat,
berani dan tegas, menghukum siapa saja yang berbuat salah dan membunuh. Namun
sifat kesetiaan dan kasih sayang telah diajarkan di masa ini, seperti yang
dilakukan pada suaminya Sitt dan anaknya.
Nabt
Iqrat, ratu awal pada masa daulah kuno dan Sabak Nafru, masa pertengahan juga Hatsibsut
adalah raja ketiga, mempunyai perangai bijak, adil dan disukai rakyatnya.
Sejarah ini berusaha mendialektikan apa sebenarnya yang akan terjadi di masa
mendatang, banyak pemimpin yang adil, namun di jaman selanjutnya lalim dan
rakus. Tata negara sudah diatur dalam kitab sejarah Mesir kuno. Sakralitas masa
ini mungkin sebagai azimat bagi rakyat Mesir sekarang. Banyak kitab sankskerta
atau peninggalan yang terpendam menjadikan nilai sejarah yang luhur.
Selain
memperkenalkan peradaban berumah tangga, menurut para arkeolog pada artefak penggambaran masa ini (Mesir
kuno) tidak dijumpai gender tertentu, mereka laki-laki atau perempuan. Semua
laki-laki dan perempuan tiada beda, terdapat garis pemisah antara keduanya, tidak
jelas dan tidak berkelamin. Secara tidak langsung, martabat perempuan sama
dengan laki-laki dan tidak ada pemisah keduanya.
Kebiasaan
pesta, terukir di dinding kuburan Khoi keluarga ke -19 dari dewa-dewi. Mereka
menabuh rebana, memakai gaun transparan body, ada sebagian yang berdendang
lagu. Nevertiti sering disandingkan dengan raja Memphis Fir’aun, para selir,
ajudan dan rakyatnya. Nevertiti, sang ratu tercantik, khas bermahkota, membawa
kipas dari papyrus, keindahan tubuh langsing, mata hazelnut dan bergaun indah.
Pada masa kerajaan, perempuan sudah mulai menampakkan kastanya. Paradigma
kasta, membawa perempuan pada streotip alam. Kecanggungan dalam bersosial dan
berperadaban. Kasta sudra (rendah) dilukiskan dengan perempuan bersahabat
dengan alam, memanggul air, berkawan kambing dan domba, menjelajahi sawah dan
pegunungan. Peradaban yang digambarkan dengan masa Nevertiti dan kurawanya,
mengidentifikasikan degradasi moral manusia, banyak kekacauan, tumpang tindih
politik dan siasat juga awal kejumudan.
Karya
Irodah al Ma’rifah oleh Michael Focault belum sempurna, karena ada
masalah pembahasan yang belum sempurna dan keterputusan teks yang mengharuskan
dia untuk berijtihad membingkai sejauh mana zone etika yang ada pada gender
karena terlalu banyak perubahan. Seperti mengisahkan peradaban Yunani yang
mempengaruhi peradaban Mesir kuno dan mengidentifikasi pada abad ke-17 M,
dinamika terjadi di dunia, sosial masyarakat, kriminalitas tidak ada saling
menghormati dan mengasihi pada yang lebih tua atau muda. Masa ini mengalir di
belahan dunia utara, Rusia di Eropa, banyak lahir pergerakan borjuis di atas
proletar. Budaya lawan jenis, keluar
bebas dari rumah dan dugem. Rakyat proletar dipekerjakan dan diambil upetiinya
layaknya budak.
Perempuan
menjadi istri simpanan dan budak tawanan. Ada juga yang tinggal di istana
menyandang sebagai ratu, tidak mau duduk di samping pelayan perempuan lainnya.
Dari kesenjangan tersebut, para budak menjadi korban aborsi atas kekejaman raja
sampai banyak angka kematian ibu dan anak. Hal tersebut melahirkan dinamika
baru, pada awal ke-19 (pasca perang dunia) dibentuklah partai feminis yaitu
partai pergerakan dipimpin oleh Victoria. Di sini digalakkan pendidik dan
pembimbing atas diri kaum perempuan. Bagi feminis, jasad perempuan bukan dipandang
miring sebagai materi, tetapi perempuan juga seperti laki-laki kedudukannya
untuk memperoleh hak untuk mengikuti masa globalisasi.
Seniman
Mesir mendendangkan sebuah puisi ghozal (rayuan dan pujian perempuan)
mengilustrasikan perempuan penuh dengan sahwat dalam otak sang lelaki. Naguib Mahfoudz, penyair sekaligus novelis
Mesir, mencuat dalam beberapa karyanya yang bertajuk kritikan-kritikan terhadap
konstitusi hukum dan sisi humanis. Di sebuah karya yang dia tulis, terdapat
puisi, salah satu wadah untuk menerjemahkan perempuan Mesir kuno sangat jauh
peradabannya dibanding masa kini. Uslub yang digunakannya mendalam, penuh
ekspresi kesedihan, kebahagiaan, kerinduan, dan khas tulisannya inpersonifikasi.
Disini Naguib mengkritik para penyair beraliran surialisme, dia nilai ada
kekaburan karena sifatnya yang hiperbola. Bahkan ketika teknik surialis digunakan
dalam tataran masa kini, baginya menimbulkan penurunkan martabat perempuan dan
terlalu dibuat-buat.
Teknik
klasik artistik mengilhami sang seniman dalam ruang imajinatif. Karena
eksistensialis perempuan seperti cermin dua dimensi kehidupan. Dua dimensi
tersebut baik bersifat ilustratif maadiyah (materialistik) dan huyuli. Huyuli (ketuhanan) yang eksoteris dan
ilustrasi (maadiyyah) yang tampak. Dalam Fusus al Hikam, karya penyair
sufi Ibnu Arabi, menjelaskan hubungan lelaki, wanita dan tuhan. Bahwa lelaki
diciptakan oleh Allah melalui aspek feminitas Tuhan, sedangkan wanita
diciptakan oleh Allah dari bagian lelaki. Dari itu, cinta lelaki terhadap
wanita dan sebaliknya adalh merupakan penyatuan dari yang semula satu menjadi
dua dan kembali satu, menyatu dalam hakikat cinta ilahi sebagaimana dalam
pernikahan. Semangat berketuhanan yang dimiliki jemaat kristen lewat puisi dan
nyanyian gereja, digambarkan oleh seniman Goto
dengan penghapusan dosa dan kedamaian Yesus. Rasa sakit fisik menahun
sembuh atas kekuatan Ruh kudus yang terpatri dalam jiwa manusia. Inilah suhu dimana
puisi dilukiskan dengan dua dimensi yang menyatu antara Jauhar ilahy
(helenis) dan realita manusia yang bersifat transenden.
Entah
mengapa saya berkesimpulan aneh saja, perwatakan yang dibangun dari sebuah
realita dan dibatasi oleh zone negara sifatnya relatif. Tapi, bagi para seniman
barat dalam beberaa karya lukisannya, banyak tertarik mengambil angel perempuan
Timur. Pada abad ke-19 M, banyak para orientalis berguru ke Timur untuk
mengadakan banyak penelitian etnik, suku, watak, agama dan sosial masyarakat.
Ada karakter pembeda antara wanita Timur dan Barat. Seperi yang dipikirkan oleh
Rimbranet, August Rinwar dan Henri Matis.
Terkadang
para penyair terperosok akalm ruang subyektifitas seperti yang tergambarkan
oleh Mahmoed Mukhtar dan Mahmoed Sa’id, dua orang dengan karakter berbeda.
Mahmoed Mukhtar, hidup dalam keluarga yatim dan ibunya lama menjanda, sehingga
dalam beberapa karya pemikirannya banyak mengagungkan perempuan dalam segi
humanis. Pun demikian Sa’id, perempuan dengan banyak gemerlap tetap saja
menjadi perempuan tangguh dan pahlawan bagi rakyatnya. Namun, penyair juga
tidak luput dengan koalisi perpolitikan, tiap golongan membutuhkan penyair,
sehingga nilai artistik penyair bukan hanya dinilai sebagai seni tapi juga
timbul fanatik terhadap dirinya. Sa’id, penyair di masa sultan Ali Basya,
menghadapkan diri sebagai wazir Mesir dan penyair. Seperti juga dalam lukisan
Monalisa La Joconde karya Leonardo da Vinci, lukisan diatas minyak kayu
poplar. Lukisan ini di museumkan di Louvre, Perancis. Karya ini mempunyai
magnet cinta karena mempunyai nilai mistik yang konon dipersembahkan untuk nona
Lisa, ratu Perancis. Demikianlah
sekelumit perempuan, sosok manusia yang mampu dilukiskan dalam segala bentuk, yang
mengandung arti menjunjung tinggi nama perempuan, harkat dan martabatnya.
Judul
buku: Suroh al Mar’ah Fi Tarikh al Funun
Penulis:
Dr. M. Taj dan Dr. Wail Gholi
Maktabah:
Haiah Ammah al Masriyah
Resentator:
Mei Rahmawati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar