Kamis, 31 Januari 2013

Rambut Perempuan Bukan Aurat


Oleh Mei Rahmawati

Daripada bengong, mending iseng-iseng dan coba-coba nerjemahkan buku. Itung-itung sambil belajar..maaf tulisan masih newbie :) mohon dikritik atau saran! Thanks.

Sekarang ini, saya mau berbagi cerita tentang hijab. Sejarah hijab saja siiih.

Beranjak dari pemikiran meletakkan tutup kepala perempuan yang berarti hijab ketika mereka berpendapat bahwa rambut perempuan aurat. Artinya ada perempuan berhijab dan ada juga tetap saja terbuka rambutnya, memakai perhiasan, berias alis mata, bedak dan lipstick. Perkara  demikian sangat kontras dan menghasilkan debat kusir.

Lalu timbul pertanyaan, apakah rambut aurat? siapa yang berkata demikian? Apa sejarahnya pemikiran tersebut? Dimana letak kebenarannya?.
Demikian jawabannya

Rambut pada masa Mesir kuno:
Dahulu tumbuh peradaban Mesir kuno, timbul keyakinan pemikiran teologi bahwa rambut adalah simbol kebanggaan dan kekuatan. Misal, ketika pendeta mereka masuk gereja, mereka ada yang bertugas membaptis anak gembalanya, menghibahkan  hidup pada tuhanNya dengan tinggal dan beribadah penuh di kuil. Maka ada momen dimana dia mensucikan agamanya dengan menggunting rambut secara plontos, sebagai bukti ketawadhu’an di depan tuhannya dalam setiap gerakk-gerik dan aktifitas di tiap harinya.

Demikian arti adat budaya Mesir kuno, baik laki-laki perempuan, untuk memplontos rambut.sebagai bukti penyuguhan tawadhu’ dan kehormatan di depan tuhanNya. Seperti laki-lakinya meletakkan rambut di atas baju, mereka membakar rambut tersebut dan berlindung dengan memuja-muja sampai habis api tersebut. Sebagaimana laki-laki, perempuan juga demikian, bersolek, menutup rambut dalam bejana guna dihibahkan, adat demikian bernama BARUKAN.

Pemikiran Mesir kuno tersebut menginfiltrasi pada seluruh alam sampai pada kebudayaan yang berbeda juga, kita lihat pada pendeta gereja Kristen pada abad pertengahan, mereka memplontos rambut seperti  ibadah agama Hindu-Budha bahkan sampai sekarang yang kemungkinan mengikuti akar dari adat Mesir kuno dalam penggundulan rambut mereka dari adat keagamaan yang berkeyakinan animism- dinamisme. Ada juga di kebudayaan lain seperti masa kebudayaan Julius Caesar (120-44SM), raja Kristen di Roma, ada gejolak pengaruh pemikiran misal waktu  perang bumi al Ghol (Perancis), rakyatnya mengirimkan rambut mereka sebagai ketundukan pada negaranya.


Rambut dalam keyakinan Yahudi:
Sesungguhnya nabi Musa (pada abad ke-13SM), lahir adat berketuhanan di Mesir yang terpengaruh dari pemikiran dan budaya Mesir kuno dari orang-orang Ibrani (Yahudi) dan sebagian bangsa. Misalkan tidak tidak boleh menampakkan rambut kepala di depan tuhanNya sebagai dalil penghambaan dan ketawadhu’an.
 Bangsa Ibrani ada dua kubu, kubu yang satu ini, mengirimkan rambut mereka, tanpa mencukur, menutup rambutnya dengan kain, kemudian solat. Dalam budaya tersebut, laki-laki menutup kepala dengan “towaqi”, sedang yang perempuannya menutup dengan khimar diatas kepalanya tengah sholat atau masuk di dalam rumah peribadatan.

Sampai masa kini, yahudi yang taat memakai itu diatas rambutnya ketika masuk di kuil, tengah sholat atau waktu seminar keagamaannya, sedang perempuannya juga memakai khimar.Namu, selang berkembangnya waktu timbul pendapat golongan berbeda, mereka memakai toqiyah dimanapun dan di jalan-jalan dan ada juga  bahwa memakai “towaqi” perintah agama seperti umat islam.

Rambut dalam Pandangan Kristen:
Ketika pendeta Kristen berpidato tema rambut, dia berkhitobah bahwa baik jemaat laki-laki atau perempuan secara mutlak wajib mendengar dan memusatkan hati pikirannya secara dalam untuk memahami arti esensi menjaga rambut, bukan sekedarnya saja.

Tapi bagi Polis (nabi menurut keyakinan mereka) memahami makna rambut dalam “risalah pada ahli Korents” dengan isi: “setiap laki-laki ketika sholat atau berdakwah, wajib baginya menutup rambut. Adapun yang perempuan, tidak ditutup, maka wajib untuk digundul dan wajib dipertanyakan pada dirinya, apakah dibenarkan jika perempuan sholat pada Allah dia tidak tertutup…”.
(al Ishah 11: 4-14)

Intisari kalam Polis bahwa tidak seyogyanya perempuan ketika sholat, kepalanya tidak tertutup, adat jemaat laki-laki seperti ini mengikuti adat bangsa Ruman, jika laki-laki tidak memakai penutup kepala ketika sholat  tetapi masih berpegang teguh dengan adat Yahudi itu tidak apa-apa,  sedang selain Yahudi, maka tidak boleh bagi perempuan untuk sholat tanpa ditutup kepalanya (khimar), sesungguhnya pendapat penutup rambut adalah pengganti dari memotong atau mencukur rambut, jika tidak ditutup, maka digundul sebagai upaya taat dia pada Allah SWT.

Jadi rambut perempuan dalam perspektif Kristen dan Yahudi dll bukan sebagai nilai agama, tapi simbol kekuatan dan kesucian taat pada tuhan, baik ditujukan bagi  laki-laki dan perempuan. Maka tidak heran, baik bagi laki-laki dan perempuan Yahudi, khususnya bagi perempuan Kristen sendiri, menutup kepala dengan khimar ketika sholat untuk patuh sebagai wujud kemulyaan bagi tuhannya, maka jika tidak, penggantinya digundul rambut sebagaimana adat Mesir kuno.

Rambut dalam Perspektif Islam:
 Ketika hidup di Makkah, tradisi Musyrikin senang menggunting rambut. Waktu rasul hijrah dari Makkah ke Madinah, beliau melihat ahli kitab mengirim rambutnya satu sama lain.

Seperti tradisi ahli kitab, setiap laki-laki muslim memakai tutup kepala ketika sholat, yang tidak seharusnya dilihat di depan Allah, karena demikian simbol tidak sopan bagi Allah, tidak hanya untuk ibadah, patuh dan taat untuk menghadapnya.

Perempuan yang memakai khimar, sebagaimana yang biasa dipakai ahli kitab dan satu-satu tujuan yang meletakkan khimar datang dari mereka sendiri dengan sebab yang sama, laki-laki pun memakai taqiyah ketika sholat.

Arti menutup rambut bagi perempuan muslimah, merupakan suatu kewajiban, diriwayatkan oleh nabi Muhammad SAW bersabda: “Janganlah kamu menemui sholat dalam keadaan haid (perempuan baligh) kecuali dengan khimar”, hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Hambal, Ibnu Majah, dan Turmudzi (Miftah Kunuz al Sunnah- halaman 168). Maksud tersebut arti penting bagi perempuan baligh memakai khimar penutup rambutnya di tengah sholat yang biasa juga disebut torhah.

Hadits “Janganlah kamu ini (baligh) menemui sholat kecuali pakai khimar”, (ada juga penambahan) hadits yang diriwayatkan oleh nabi Muhammad SAW “ tidak boleh bagi perempuan baligh untuk menampak-nampakkan  ini, ..dengan menunjukkan pada muka dan kedua telapak tangan” (diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunnahnya), jikalau aslinya perempuan menutupi rambut di kepalanya pada umumnya itu tidak sesuai baginya, padahal yang diminta adalah ketika di tengah-tengah sholat. Maka hadits khimar berisi bahwa tidak selamanya dipakai karena hadits diatas hanya memerintahkan waktu tengah sholat saja.

Hadits tambahan diatas “tidak boleh bagi perempuan baligh untuk menampakkan aurat kecuali ini dan ini”, hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam sunnahnya (sunnah yang tidak bermaksud perintah keras dalam meriwayatkan hadits) dan tidak dikeluarkan dari wilayah ulama hadits lain, ketika hadits “janganlah kamu menjumpai sholat dalam keadaan haid (baligh) sampai kamu berkhimar” hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (pengeluar lama), sebagaimana yang dikeluarkan hadits oleh Ibnu Hambal (dalam Musnad) dan Ibnu Majah dan Turmudzi, artinya hadits semua ini dikeluarkan oleh empat dari ulama hadits.

Jika hadits yang tadi hanya diriwaytkan seorang saja “tidak boleh perempuan baligh,,,” , dan dua hadits setelahnya tidak dikeluarkan oleh imam Bukhori dalam sohihnya (hadits paling sohih hukumnya). Dan Abu Dawud, mengeluarkan dua hadits bersamaan, maka beliau tidak akan mampu menyimpulkan kedua hadits tersebut sempurna dalam silang pendapat di dalamnya dan tidak berhasil membuat apa sebab tersebut untuk mentafsirkan setiap hadits.

Sebagaimana hadits sebelumnya dan dalam maqolahnya, sesungguhnya ayat khimar surat al Nur:24:31), ayat ini akan berhenti asbabun nuzulnya tentang keadilan untuk mengetahui keadaan budak perempuan waktu itu, jika sebagian perempuan menutup leher diatas kepalanya, maka seyogyanya untuk mengulurkan kain tersebut di belakang punggung kemudian menutupi dada yang terbuka, demikian mereka diperintah memakai khimar diatas dada-pengganti dari ditutupnya punggung mereka kemudian wajib menutup dada (yang telanjang),karena asbabun nuzul sendiri mempunyai makna, kecuali jika dia tidak mengambil ayat sebelumnya dan hadits khusus khimar sudah mewakili kesempurnaan. Karena dia bermakna perempuan baligh untuk memakai khimar waktu sholat (hadits amaly) dan menutup khimar diatas dadanya supaya tidak nampak (ayat amaly), maka dengan demikian hilang saling perbedaan antara ayat dan hadits yang diriwayatkan Rasul saling berkelindan dan bermakna tunggal.

Dua hadits diatas (jika ada perempuan baligh, tidak menemui sholat dalam keadaan haid) adalah hadits ahad yang bisa diambil, dengan jalan isti’nas dan istirshad (petunjuk), dalam kehidupan sehari-hari, tapi tidak bisa dipakai dalam urusan agama dan syariat. Hal itu bukanlah fardhu ‘ain dan bukan disebut kewajiban agama yang mutlak.

*Hujjatul hijab linnisa’ karya Dr. Ashmawy 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar