Oleh Mei Rahmawati[1]
Pernikahan adalah hubungan sakral antara laki-laki dan perempuan untuk
saling menyayangi, mengasihi dan memahami. Hubungan yang terjadi antara
keduanya dalam sebuah pernikahan merupakan hal yang paling mendasar. Mengapa?
Karena pernikahan pondasi dasar
membangun sebuah keluarga kecil dari
anggota masyarakat juga negara. Jika pondasi dasar tersebut kokoh, maka
kokohlah peradaban manusia yang harmonis, selaras dan seimbang sebagai manusia
bertuhan, masyarakat dan negara .
Karena subyek pernikahan adalah manusia yaitu dua jenis yang berbeda,
maka seyogyanyalah sejak dini memanajemen pra nikah. Sebelum kita memasuki
pembedahan manajemen pra nikah, baiknya kita memahami dulu makna dan tema terkait.
Secara etimologi, banyak pendeskripsian nikah baik dari berbagai sudut
pandang ahli fikih. Nikah (az zawaj) adalah wat’I atau dhom (memegang),
sedang secara terminologi mempunyai makna beragam sesuai konteks dan kesimpulan
masing-masing madzhab. Madzhab Syafii menyatakan bahwasanya nikah merupakan
akad yang mengandung nilai mitsaqon gholidzdhoh (perjanjian yang kuat)
dimana sejak akad tersebut sang pasangan dihalalkan secara syariat untuk
berhubungan badan dan menurunkan keturunan. Namun makna akad di sini bukan berarti
pemanfaatan mut’ah (sebatas kebutuhan seks) namun juga tujuan dari masholih
al mursalah (sebuah bentuk ibadah yang besar pahalanya). Artinya menikah
merupakan pelaksanaan ibadah yang mempunyai dua eksistensi, pertama : makna al
tho’ati (menjalankan amanah sebagai manusia yang memasuki fase dewasa,
menghasilkan keturunan yang sholih, mendidik anak juga istri dan menjalankan
tugas sebagai seorang kepala rumah tangga), sedangkan makna al ma’asy yaitu
hanya sebatas kepemilikan dan penggunaan fungsi biologis).[2]
Sebelum melakukan prosesi pernikahan, tentunya banyak sekali fase bagi
perempuan ataupun laki-laki dalam meaktualisasikan hal sakral tersebut. Persiapan
ini tidak sebatas persiapan yang bersifat muaqotah (sementara) ketika persiapan resepsi saja, pranata dan
keperluan yang esensialitas yang begitu tinggi adalah substansinya supaya
kehidupan berumah tangga terjalin langgeng sesuai dengan rumah tangga
rasulullah SAW dengan istri beliau.
Sebagai seorang muslim, tentunya kita tidak bisa menafikan beberapa
syariat atau ketentuan hukum islam yang ada. Seperti bagaimana khitbah. Apakah
sama dengan ta’aruf atau lamaran? Semua ini tentu ada keterkaitan antara
syariat dan penyesuaian adat (‘urf)
supaya berjalan serasi dan harmonis.
Banyak sekali problematika remaja yang berniat untuk menikah yang masih
sulit menyatukan kesepakatan antar dua keluarga yang berbeda. Bisa berupa
karena perbedaan adat, pandangan hukum syariat, bahkan pada prosesi pernikahan
itu sendiri. Atau problem timbul dari perempuan ataupun laki-laki. Tentunya
kita sangat khawatir, karena pernikahan bukan hanya menyatukan dua insan yang
menikah tapi juga menikahkan dua anggota keluarga. Pernikahan juga amanah yang
besar, apalagi seorang perempuan, sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, dimana
ada hadist yang meriwayatkan bahwa di belakang seorang laki-laki sukses
terdapat perempuan yang kokoh. Di sinilah salah satu bukti bahwa melewati
pernikahan sebagai jembatan perempuan mendapatkan surga di bawah telapak kaki
suami.
Manajemen diri sebelum menikah sangat banyak jika kita belum tahu dan
memandang sebagai hal yang rumit. Persiapan yang dimaksud tidak cukup mencakup
hal materil tapi juga spiritualitas yang tinggi.
1.
Persiapan spiritual dan psikis/mental
Sering kita jumpai, ketika para kerabat dan
teman mengucapkan ‘selamat menempuh hidup baru’ di pesta pernikahan pasti kita
membayangkan dan bertanya-tanya, mengapa hidup baru? Bukankah kita sudah
dewasa? Justeru inilah fase kedewasaan teruji ketika kita memasuki fase berubah
status tidak melajang lagi. Fase dimana kita dituntut untuk mengahadapi problem
kehidupan yang berheterogen, kewajiban baru dan hak baru.
Apalagi mengingat kita sebagai perempun, istri
sekaligus ibu bagi suami dan anak. Menjelang dan sesudah pernikahan, adaptasi
dengan anggota keluarga yang baru yaitu suami. Seyogyanyalah kita memahami
karakter baik seorang laki-laki bagaimana dalam hal memimpin sebuah anjangsana
biduk RT. Sebaliknya, mengenal lebih dalam apa tanggung jawab perempuan. Adaptasi ini bisa dipupuk sejak
dini, setidaknya kita bisa berkaca pada diri kita, apa kekurangan yang harus
dibenahi, berkaca pada ibu kita, bagaimana kepribadian seorang ibu. Selain itu
memahami karakter pasangan kita sebelum menikah. Bisa kita melihat dari
bagaimana cara dia bergaul dengan teman-temannya atau banyak membaca buku
sejauh mana karakter laki-laki jika sudah menjadi seorang kepala RT. Sesuai dalam hadits rasul berbunyi “
innaman nisa’ shaqoiqu al rijal” (hadis sohih diriwayatkan oleh imam Ahmad,
Abu Dawud dan Turmuzi dari sayyidah Aisyah RA).
Seorang perempuan akan mendambakan pasangan
yang solih begitupun sebaliknya. Bila dalam diri seseorang ingin mendapatkan
yang baik, maka seyogyanyalah dimulai dari diri sendiri dahulu. Sebagaimana
firman Allah SWT dalam QS. An nur ayat 26.
2.
Persiapan finansial
Finansial berasal dari bahasa inggris finance
yang berarti keuangan. Di step yang ke-2 ini, keuangan sangat perlu dibutuhkan
dalam menjalankan hidup berumah tangga. Bukan berarti islam mengajarkan
bersikap materialis, namun ditinjau dari psikologis, keuangan bagaikan air
untuk menyirami tanaman, walaupun terdapat pupuk dan cahaya matahari.
Sebagaimana uang untuk kebutuhan sehari-hari, makan, membayar rumah, biaya
pendidikan juga keperluan lainnya.
Nafkah lahir
berupa materi baik uang atau harta benda, wajib hukumya bagi seorang
laki-laki. Keluar dari hal itu, misalkan seorang suami sakit yang tidak bisa
terobati atau sakit yang tidak mampu untuk bekerja menghidupi istri. Hal ini
banyak sekali memicu keberadaan seorang perempuan berkarier atau minimal
bekerja baik sebagai pembantu RT, berdagang, mengajar bahkan seperti di negara
berkembang banyak mengakibatkan pertambahan PSK per kapita, atau gelandangan.
Bagi setiap keluarga, nilai penting arti uang
juga salah satu faktor keberadaan tercegahnya KDART. Banyak sekali keluarga
yang bercerai berai karena anak terlantar, hidup sulit dan semua beban ada pada
sang istri. Di jaman globalisasi abad post-modernisme, pergulatan panjang
menuju titik arah media komunikasi mengalahkan berbagai bentuk sosial
masyarakat, yang ada hedonisme. Hal ini Gadamer, filsafat Gadamer mencerminkan sintesis dua gerakan yang telah
kita gambarkan diatas, dari hermeunetika regional menuju hermeunetika umum dan
dari epistemologi ilmu kemanusiaan menuju ontologi.[3]
Artinya, diperlukan komunikatif antara suami istri pasca menikah, pendidikan
perekonomianlah sangat urgen bagi anggota keluarga. Karena bagaimanapun menikah
tidak sekedar semangat baja, ungkapan sayyidina Umar bin Khottob Ra“ langit
tidak akan menurunkan emas”.
Timbullah beberapa pertanyaan dan pernyaataan jika kita sulit untuk
memanajemen finansial pra menikah supaya mudah menjawabnya.
-Apa saja aset/tabungan/simpanan yang kita
miliki?
Berapa jumlah hutang?
Merencanakan berapa jumlah anak
Apakah kita termasuk orang boros atau hemat
Bagaimana membagi tanggungjawab antara suami
dan istri?
Dalam berbagai masalah negara berkembang sangat
berkelindan permasalahan beberapa ekonomi dengan sosial. Hal ini terbukti
negara mayoritas islam banyak juga yang terseret terhadap agama lain hanya
karena kesempitan hidup yang makin terhimpit selanjutnya memperjualbelikan
agama. Atau bisa karena kurang adanya iman tangguh membawa manusia pada terputusnya
semangat hidup seperti yang terjadi di negara Jepang, Rusia atau Unisoviet di
abad marxis. Sebagaimana dalam hadits “ kada al faqru kufro”.
Bagi perempuan, hal keuangan bersensitifitas
tinggi, laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai pengatur
keuangan. Maka sangat tepat sekali jikalau seorang perempuan sholihah (istri)
akan memasuki pintu syurga dari mana saja ketika dia dapat menjaga harta benda
suami, anak dan menjaga aib keluarga.
3.
Persiapan Keilmuan
Masa dewasa adalah masa dimana fase puber
tumbuh dan banyak dihadapkan warna baru. Tidak bersifat sporadis namun
progresif yang tentunya banyak mengalami hambatan-hambatan yang perlu
diselesaikan dan dilalui.
Khususnya bagi seorang akademik, kita ambil
contoh bahwa di masa ini banyak sekali problem yang harus dijawab, baik dari
lingkup akademisi sebagai mahasiswi atau di luar itu. Yang terkadang timbul
pertanyaan, kenapa tidak menikah? Bukannya sudah cukup usia? Tentu hal ini
membuat banyak kekaburan dalam menjawab, karena dibenturkan oleh sikap ia
sebagai mahasiswi dan menjadi istri. Sehingga banyak yang kehawatiran
jangan-jangan menghambat sebuah nilai intelektual dan kreatifitas.
Kematangan fisik salah satu ciri dari usia
dewasa, lazimnya usia 18-22 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki.
Ciri-ciri ini pada umumnya mempunyai keinginan hal ikhwal pernikahan,
mengetahui bahwa menikah dapat membntu menertibkan keberadaan sosial yang
tertib, aman dan bermoral. Konseling pra nikah sangat dianjurkan di beberapa
negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia juga negara maju lainnya.
Seperti yang diangakat dari artikel Technique with premarriage group
yang ditulis oleh David j. Roluef. Artikel ini mengisahkan bahwa konseling pra
nikah sangat penting ditujukan di beberapa universitas. Karena sangat
komperehensif sehingga urgen diadakan. Formatnya berupa ceramah dan exercise
juga diskusi oleh kelompok kecil membahas tentang: interaksi pernikahan, tugas
orang tua, manajemen keuangan, dimensi keagamaan dan masalah seks.
Interaksi pernikahan tidak hanya pasangan,
kesempurnaan komunikasi antara orang tua dan menantu atau anak juga perlu
diadakan. Sebagai pendekatan psikis dan empiris, kekuatan magnet satu medan dan
medan lain wajib dipererat, supaya ada evaluasi diri sejauh mana arti
eksistensial pernikahan. Psikoanalisa Freud, bahwa jika pengalaman analitis
adalah hasrat yang datang pada diskursus, maka corak kebenaran yang merupakan
jawaban yang terbaik baginya adalah berkata benar ketimbang benar.[4]
Berikut pertanyaan-pertanyaan yang timbul
-Apa itu khitbah dan menikah
-Seberapa jauh arti mahar?
-Apa saja yang dipersiapkan sebelum menikah?
-Bagaimana prosesi menikah, apakah harus mewah
atau sederhana? Haruskah ada walimah ketika syariat memutlakkan akad ijab kabul
suatu rukun nikah dan hal tersebut sudah sah?
-Bagaimana jika adat daerah dinilai dari
kacamata fikih? Senkretiskah?
KHITBAH
Khitbah adalah meminang atau meminta sang perempuan untuk dijadikan
pasangan hidup. Disini yang berperan aktif adalah laki-laki.
Terkadang, ada sebagian orang berpendapat bahwa lamaran sama halnya
dengan mengkhitbah. Memang, hal itu sama secara lafadz. Berbeda jika dilihat
dari sudut pandang ‘urf dan ma’nawy. Lamaran artinya memintanya
seorang laki-laki pada pihak keluarga perempuan sebagai pendahuluan sebelum
mengadakan khitbah formal yang dihadiri banyak orang, tetangga dan teman juga
kerabat.
Dalam beberapa sesi ta’aruf, keluarga laki-laki meminta ijin anak
laki-lakinya untuk meminta perempuan pada pihak perempuan. Meminta ijin
membutuhkan jawaban ya atau tidak, baik secara tshrih atau kinayah untuk
mendapat jawaban diteruskannya hubungan ke jenjang pernikahan atau tidak.[5]
Menikah sudah diatas dibahas
Mahar adalah suatu pemberian yang wajib bagi istri sebab pernikahan. Namun
mahar bukan termasuk rukun nikah, jikalau mahar tidak disebutkan dalam akad,
sah saja, tetapi suami diwajibkan membayar mahar misil (sepadan) ini
berdasarkan suatu kisah sahabat yang menikah tapi tidak disebutkan maharnya,
selang waktu sang suami meninggal dunia dan belum sempat memberinya, disahkan
oleh rasul.
Menurut Abu Hanifah, mahar wajib diberikan jika akad nikahnya sah.
Berbeda dengan Syafii, mahar adalah bukan hanya sah akad saja tapi juga karena
persetubuhan. Bagaimana jika sang isteri meminta mahar banyak terlebih dahulu
sebelum menikah? Sesuai dengan hadits bahwa mahar tidak berkadar, tapi sesuai
‘urf. Maka sangat logis sekali, dimana rasul tinggal di tengah penduduk arab
yang ‘urf hedonisme dan fanatis, masa anak dinikahkan dengan mahar yang sangat
besar.Maka turunlah ayat al quran bahwa
أعظم النساء بركة أيسرهن مؤنة
“Perempuan paling banyak keberkahan
pernikahannya adalah paling memudahkan maharnya” (HR. Al Hakim dan Ahmad)
Antara Adat dan Syariat
Puasa mutih (tidak makan sesuatu yang bernyawa,
makan nasi saja atau puasa selayaknya puasa) menurut beberapa adat daerah
sangat dianjurkan biasanya 3 bulan sebelum hari H, budaya semacam ini
disakralkan dan sampai tidak akan disahkan jika tidak melaluinya. Puasa mutih
tidak pernah ada dalil khusus mewajibkannya. Puasa ini berangkat dari sebuah
kebiasaan dan dorongan sosial. Namun beberapa peneliti kedokteran menuturkan,
puasa dapat menjaga metabolisme tubuh dan memperkencang otot wajah dan perut
juga menjaga hawa nafsu. Biasanya puasa mutih ini juga dibarengi dengan budaya
pingitan.
Secara psikis, puasa sangat mempunyai nilai
teratas untuk keberadaan sang calon pengantin dan tuhan. Karena secara tidak
langsung, sesama calon menjauhi hawa nafsu sebelum menikah. Serta mendekatkan
diri pada Tuhan. Konsep semacam ini menggunakan kaidah usulfikih “ laa
dhororon wa laa dhiroron”. Sangat dianjurkan jika sekiranya dhoruri.
Mengapa? Karena budaya ini meminimalisir
terjadinya hal yang berbahaya (seperti ada mitos bahwa banyak halangan yang
datang sebelum menikah) selama tidak mengubah akidah dan syariah, ini mubah. [6]
# Tulisan ini hanya sekilas saja sebagai pengantar. Terimakasih..
-
[2] Syaikh al islam Zakaria
bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria al Anshori, Fath al Wahhab bi sarh al Manhaj
al Thullab, Vol. 2, cetakan dar al Kutub al Islamiyyah, Kairo 2006
[3] Paul Ricoeur,
Hermeuneutics and the humen sciences, Essay on languange, action and
interpretation, Cambridge University Press, 1981
[4] Untuk diskusi
fenomenologis yang lebih panjang, lihat Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An
Essay on interpretation, diterjemahkan oleh Denis savage(New Heaven, Yale
University Press, 1977)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar