Selasa, 05 Maret 2013

Sekilas Manajemen Diri Pra Nikah



Oleh Mei Rahmawati[1]
Pernikahan adalah hubungan sakral antara laki-laki dan perempuan untuk saling menyayangi, mengasihi dan memahami. Hubungan yang terjadi antara keduanya dalam sebuah pernikahan merupakan hal yang paling mendasar. Mengapa? Karena pernikahan  pondasi dasar membangun sebuah keluarga kecil  dari anggota masyarakat juga negara. Jika pondasi dasar tersebut kokoh, maka kokohlah peradaban manusia yang harmonis, selaras dan seimbang sebagai manusia bertuhan, masyarakat dan negara .
Karena subyek pernikahan adalah manusia yaitu dua jenis yang berbeda, maka seyogyanyalah sejak dini memanajemen pra nikah. Sebelum kita memasuki pembedahan manajemen pra nikah, baiknya kita memahami dulu  makna dan tema terkait.


Secara etimologi, banyak pendeskripsian nikah baik dari berbagai sudut pandang ahli fikih. Nikah (az zawaj) adalah wat’I atau dhom (memegang), sedang secara terminologi mempunyai makna beragam sesuai konteks dan kesimpulan masing-masing madzhab. Madzhab Syafii menyatakan bahwasanya nikah merupakan akad yang mengandung nilai mitsaqon gholidzdhoh (perjanjian yang kuat) dimana sejak akad tersebut sang pasangan dihalalkan secara syariat untuk berhubungan badan dan menurunkan keturunan. Namun makna akad di sini bukan berarti pemanfaatan mut’ah (sebatas kebutuhan seks) namun juga tujuan dari masholih al mursalah (sebuah bentuk ibadah yang besar pahalanya). Artinya menikah merupakan pelaksanaan ibadah yang mempunyai dua eksistensi, pertama : makna al tho’ati (menjalankan amanah sebagai manusia yang memasuki fase dewasa, menghasilkan keturunan yang sholih, mendidik anak juga istri dan menjalankan tugas sebagai seorang kepala rumah tangga), sedangkan makna al ma’asy yaitu hanya sebatas kepemilikan dan penggunaan fungsi biologis).[2]
Sebelum melakukan prosesi pernikahan, tentunya banyak sekali fase bagi perempuan ataupun laki-laki dalam meaktualisasikan hal sakral tersebut. Persiapan ini tidak sebatas persiapan yang bersifat muaqotah (sementara)  ketika persiapan resepsi saja, pranata dan keperluan yang esensialitas yang begitu tinggi adalah substansinya supaya kehidupan berumah tangga terjalin langgeng sesuai dengan rumah tangga rasulullah SAW dengan istri beliau.
Sebagai seorang muslim, tentunya kita tidak bisa menafikan beberapa syariat atau ketentuan hukum islam yang ada. Seperti bagaimana khitbah. Apakah sama dengan ta’aruf atau lamaran? Semua ini tentu ada keterkaitan antara syariat dan penyesuaian  adat (‘urf) supaya berjalan serasi dan harmonis.
Banyak sekali problematika remaja yang berniat untuk menikah yang masih sulit menyatukan kesepakatan antar dua keluarga yang berbeda. Bisa berupa karena perbedaan adat, pandangan hukum syariat, bahkan pada prosesi pernikahan itu sendiri. Atau problem timbul dari perempuan ataupun laki-laki. Tentunya kita sangat khawatir, karena pernikahan bukan hanya menyatukan dua insan yang menikah tapi juga menikahkan dua anggota keluarga. Pernikahan juga amanah yang besar, apalagi seorang perempuan, sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, dimana ada hadist yang meriwayatkan bahwa di belakang seorang laki-laki sukses terdapat perempuan yang kokoh. Di sinilah salah satu bukti bahwa melewati pernikahan sebagai jembatan perempuan mendapatkan surga di bawah telapak kaki suami.
Manajemen diri sebelum menikah sangat banyak jika kita belum tahu dan memandang sebagai hal yang rumit. Persiapan yang dimaksud tidak cukup mencakup hal materil tapi juga spiritualitas yang tinggi.
1.       Persiapan spiritual dan psikis/mental
Sering kita jumpai, ketika para kerabat dan teman mengucapkan ‘selamat menempuh hidup baru’ di pesta pernikahan pasti kita membayangkan dan bertanya-tanya, mengapa hidup baru? Bukankah kita sudah dewasa? Justeru inilah fase kedewasaan teruji ketika kita memasuki fase berubah status tidak melajang lagi. Fase dimana kita dituntut untuk mengahadapi problem kehidupan yang berheterogen, kewajiban baru dan hak baru.

Apalagi mengingat kita sebagai perempun, istri sekaligus ibu bagi suami dan anak. Menjelang dan sesudah pernikahan, adaptasi dengan anggota keluarga yang baru yaitu suami. Seyogyanyalah kita memahami karakter baik seorang laki-laki bagaimana dalam hal memimpin sebuah anjangsana biduk RT. Sebaliknya, mengenal lebih dalam apa tanggung jawab  perempuan. Adaptasi ini bisa dipupuk sejak dini, setidaknya kita bisa berkaca pada diri kita, apa kekurangan yang harus dibenahi, berkaca pada ibu kita, bagaimana kepribadian seorang ibu. Selain itu memahami karakter pasangan kita sebelum menikah. Bisa kita melihat dari bagaimana cara dia bergaul dengan teman-temannya atau banyak membaca buku sejauh mana karakter laki-laki jika sudah menjadi seorang kepala RT.  Sesuai dalam hadits rasul berbunyi “ innaman nisa’ shaqoiqu al rijal” (hadis sohih diriwayatkan oleh imam Ahmad, Abu Dawud dan Turmuzi dari sayyidah Aisyah RA).

Seorang perempuan akan mendambakan pasangan yang solih begitupun sebaliknya. Bila dalam diri seseorang ingin mendapatkan yang baik, maka seyogyanyalah dimulai dari diri sendiri dahulu. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An nur ayat 26.

2.       Persiapan finansial

Finansial berasal dari bahasa inggris finance yang berarti keuangan. Di step yang ke-2 ini, keuangan sangat perlu dibutuhkan dalam menjalankan hidup berumah tangga. Bukan berarti islam mengajarkan bersikap materialis, namun ditinjau dari psikologis, keuangan bagaikan air untuk menyirami tanaman, walaupun terdapat pupuk dan cahaya matahari. Sebagaimana uang untuk kebutuhan sehari-hari, makan, membayar rumah, biaya pendidikan juga keperluan lainnya.

Nafkah lahir  berupa materi baik uang atau harta benda, wajib hukumya bagi seorang laki-laki. Keluar dari hal itu, misalkan seorang suami sakit yang tidak bisa terobati atau sakit yang tidak mampu untuk bekerja menghidupi istri. Hal ini banyak sekali memicu keberadaan seorang perempuan berkarier atau minimal bekerja baik sebagai pembantu RT, berdagang, mengajar bahkan seperti di negara berkembang banyak mengakibatkan pertambahan PSK per kapita, atau gelandangan.

Bagi setiap keluarga, nilai penting arti uang juga salah satu faktor keberadaan tercegahnya KDART. Banyak sekali keluarga yang bercerai berai karena anak terlantar, hidup sulit dan semua beban ada pada sang istri. Di jaman globalisasi abad post-modernisme, pergulatan panjang menuju titik arah media komunikasi mengalahkan berbagai bentuk sosial masyarakat, yang ada hedonisme. Hal ini Gadamer, filsafat Gadamer  mencerminkan sintesis dua gerakan yang telah kita gambarkan diatas, dari hermeunetika regional menuju hermeunetika umum dan dari epistemologi ilmu kemanusiaan menuju ontologi.[3] Artinya, diperlukan komunikatif antara suami istri pasca menikah, pendidikan perekonomianlah sangat urgen bagi anggota keluarga. Karena bagaimanapun menikah tidak sekedar semangat baja, ungkapan sayyidina Umar bin Khottob Ra“ langit tidak akan menurunkan emas”.

Timbullah beberapa pertanyaan  dan pernyaataan jika kita sulit untuk memanajemen finansial pra menikah supaya mudah menjawabnya.

-Apa saja aset/tabungan/simpanan yang kita miliki?
Berapa jumlah hutang?
Merencanakan berapa jumlah anak
Apakah kita termasuk orang boros atau hemat
Bagaimana membagi tanggungjawab antara suami dan istri?

Dalam berbagai masalah negara berkembang sangat berkelindan permasalahan beberapa ekonomi dengan sosial. Hal ini terbukti negara mayoritas islam banyak juga yang terseret terhadap agama lain hanya karena kesempitan hidup yang makin terhimpit selanjutnya memperjualbelikan agama. Atau bisa karena kurang adanya iman tangguh membawa manusia pada terputusnya semangat hidup seperti yang terjadi di negara Jepang, Rusia atau Unisoviet di abad marxis. Sebagaimana dalam hadits “ kada al faqru kufro”.
Bagi perempuan, hal keuangan bersensitifitas tinggi, laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai pengatur keuangan. Maka sangat tepat sekali jikalau seorang perempuan sholihah (istri) akan memasuki pintu syurga dari mana saja ketika dia dapat menjaga harta benda suami, anak dan menjaga aib keluarga.

3.       Persiapan Keilmuan
Masa dewasa adalah masa dimana fase puber tumbuh dan banyak dihadapkan warna baru. Tidak bersifat sporadis namun progresif yang tentunya banyak mengalami hambatan-hambatan yang perlu diselesaikan dan dilalui.

Khususnya bagi seorang akademik, kita ambil contoh bahwa di masa ini banyak sekali problem yang harus dijawab, baik dari lingkup akademisi sebagai mahasiswi atau di luar itu. Yang terkadang timbul pertanyaan, kenapa tidak menikah? Bukannya sudah cukup usia? Tentu hal ini membuat banyak kekaburan dalam menjawab, karena dibenturkan oleh sikap ia sebagai mahasiswi dan menjadi istri. Sehingga banyak yang kehawatiran jangan-jangan menghambat sebuah nilai intelektual dan kreatifitas.

Kematangan fisik salah satu ciri dari usia dewasa, lazimnya usia 18-22 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. Ciri-ciri ini pada umumnya mempunyai keinginan hal ikhwal pernikahan, mengetahui bahwa menikah dapat membntu menertibkan keberadaan sosial yang tertib, aman dan bermoral. Konseling pra nikah sangat dianjurkan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia juga negara maju lainnya. Seperti yang diangakat dari artikel Technique with premarriage group yang ditulis oleh David j. Roluef. Artikel ini mengisahkan bahwa konseling pra nikah sangat penting ditujukan di beberapa universitas. Karena sangat komperehensif sehingga urgen diadakan. Formatnya berupa ceramah dan exercise juga diskusi oleh kelompok kecil membahas tentang: interaksi pernikahan, tugas orang tua, manajemen keuangan, dimensi keagamaan dan masalah seks.

Interaksi pernikahan tidak hanya pasangan, kesempurnaan komunikasi antara orang tua dan menantu atau anak juga perlu diadakan. Sebagai pendekatan psikis dan empiris, kekuatan magnet satu medan dan medan lain wajib dipererat, supaya ada evaluasi diri sejauh mana arti eksistensial pernikahan. Psikoanalisa Freud, bahwa jika pengalaman analitis adalah hasrat yang datang pada diskursus, maka corak kebenaran yang merupakan jawaban yang terbaik baginya adalah berkata benar ketimbang benar.[4]

Berikut pertanyaan-pertanyaan yang timbul
-Apa itu khitbah dan menikah
-Seberapa jauh arti mahar?
-Apa saja yang dipersiapkan sebelum menikah?
-Bagaimana prosesi menikah, apakah harus mewah atau sederhana? Haruskah ada walimah ketika syariat memutlakkan akad ijab kabul suatu rukun nikah dan hal tersebut sudah sah?
-Bagaimana jika adat daerah dinilai dari kacamata fikih? Senkretiskah?



KHITBAH
Khitbah adalah meminang atau meminta sang perempuan untuk dijadikan pasangan hidup. Disini yang berperan aktif adalah laki-laki.
Terkadang, ada sebagian orang berpendapat bahwa lamaran sama halnya dengan mengkhitbah. Memang, hal itu sama secara lafadz. Berbeda jika dilihat dari sudut pandang ‘urf dan ma’nawy. Lamaran artinya memintanya seorang laki-laki pada pihak keluarga perempuan sebagai pendahuluan sebelum mengadakan khitbah formal yang dihadiri banyak orang, tetangga dan teman juga kerabat.
Dalam beberapa sesi ta’aruf, keluarga laki-laki meminta ijin anak laki-lakinya untuk meminta perempuan pada pihak perempuan. Meminta ijin membutuhkan jawaban ya atau tidak, baik secara tshrih atau kinayah untuk mendapat jawaban diteruskannya hubungan ke jenjang pernikahan atau tidak.[5]
Menikah sudah diatas dibahas
Mahar adalah suatu pemberian yang wajib bagi istri sebab pernikahan. Namun mahar bukan termasuk rukun nikah, jikalau mahar tidak disebutkan dalam akad, sah saja, tetapi suami diwajibkan membayar mahar misil (sepadan) ini berdasarkan suatu kisah sahabat yang menikah tapi tidak disebutkan maharnya, selang waktu sang suami meninggal dunia dan belum sempat memberinya, disahkan oleh rasul.
Menurut Abu Hanifah, mahar wajib diberikan jika akad nikahnya sah. Berbeda dengan Syafii, mahar adalah bukan hanya sah akad saja tapi juga karena persetubuhan. Bagaimana jika sang isteri meminta mahar banyak terlebih dahulu sebelum menikah? Sesuai dengan hadits bahwa mahar tidak berkadar, tapi sesuai ‘urf. Maka sangat logis sekali, dimana rasul tinggal di tengah penduduk arab yang ‘urf hedonisme dan fanatis, masa anak dinikahkan dengan mahar yang sangat besar.Maka turunlah ayat al quran bahwa
أعظم النساء بركة أيسرهن مؤنة
“Perempuan paling banyak keberkahan pernikahannya adalah paling memudahkan maharnya” (HR. Al Hakim dan Ahmad)
Antara Adat dan Syariat
Puasa mutih (tidak makan sesuatu yang bernyawa, makan nasi saja atau puasa selayaknya puasa) menurut beberapa adat daerah sangat dianjurkan biasanya 3 bulan sebelum hari H, budaya semacam ini disakralkan dan sampai tidak akan disahkan jika tidak melaluinya. Puasa mutih tidak pernah ada dalil khusus mewajibkannya. Puasa ini berangkat dari sebuah kebiasaan dan dorongan sosial. Namun beberapa peneliti kedokteran menuturkan, puasa dapat menjaga metabolisme tubuh dan memperkencang otot wajah dan perut juga menjaga hawa nafsu. Biasanya puasa mutih ini juga dibarengi dengan budaya pingitan.
Secara psikis, puasa sangat mempunyai nilai teratas untuk keberadaan sang calon pengantin dan tuhan. Karena secara tidak langsung, sesama calon menjauhi hawa nafsu sebelum menikah. Serta mendekatkan diri pada Tuhan. Konsep semacam ini menggunakan kaidah usulfikih “ laa dhororon wa laa dhiroron”. Sangat dianjurkan jika sekiranya dhoruri. Mengapa? Karena budaya ini  meminimalisir terjadinya hal yang berbahaya (seperti ada mitos bahwa banyak halangan yang datang sebelum menikah) selama tidak mengubah akidah dan syariah, ini mubah. [6]

# Tulisan ini hanya sekilas saja sebagai pengantar. Terimakasih..


-           









[1] Dipersembahkan untuk Kewanitaan PII cab. Kairo 2013. Disampaikan pada tanggal 5 Maret 2013.
[2] Syaikh al islam Zakaria bin Muhammad bin Ahmad bin Zakaria al Anshori, Fath al Wahhab bi sarh al Manhaj al Thullab, Vol. 2, cetakan dar al Kutub al Islamiyyah, Kairo 2006
[3] Paul Ricoeur, Hermeuneutics and the humen sciences, Essay on languange, action and interpretation, Cambridge University Press, 1981
[4] Untuk diskusi fenomenologis yang lebih panjang, lihat Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on interpretation, diterjemahkan oleh Denis savage(New Heaven, Yale University Press, 1977)
[5] M. Abu Zahroh, Akhwal al Syahsiyah, Maktabah Dar al Kutub al Islamiyyah, Kairo 2003.
[6] Jalaluddin al Sayuti, al Ashbah wa al Nadhoir, Maktabah Darussalam, Kairo 1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar