Senin, 15 April 2013

Ulama/Pemikir Nyentrik Nusantara: Dakwah sekaligus Penggerak Gender



 Oleh Mei Rahmawati*

Kita semua sudah memahami bahwa Islam adalah agama selamat, yang baik bagi pemeluknya dan secara kultur membentuk pribadi manusia yang berkarakter dan berbudaya. Semua tahu dan paham bahwa nabi Muhammad pembawa kasih dan sayang bagi seluruh umatnya. Salah satunya membebaskan kaum perempuan di bawah pasungan  sejak masa jahiliyah, seperti penguburan  bayi dan wanita secara hidup-hidup, sabotase hak waris, perbudakan dan penjualan perempuan.


Setelah Islam masuk terkhusus di nusantara berdasarkan periwayatan sejarah babad tanah jawa datang melalui tiga jalan. Pertama: perdagangan, kedua: pernikahan dan terakhir: tukar-menukar  kebudayaan. Umat Islam di Indonesia menduduki agama mayoritas, namun semua itu tidak lepas dari ingatan sejarah baik yang tertulis atau tak tertulis. Banyaknya akulturasi budaya bagi orang awwam merasa kaget jika terjadi perubahan yang tak sesuai dengan jamannya. Streotip masyarakat berdampak mengambil jarak antar kaum muda intelektual. Sehingga banyak corak islam yang diwarnai dengan pluralitas bahasa secara sendiri. Pembahasan gender tidak asing lagi di telinga kita, di Indonesia banyak diberi pemahaman memiliki intervensi dengan barat sebagai negara yang bertentangan dengan budaya, adat dan agama. Di sinilah terdapat sinkronasi sejarah antara gender di Indonesia dan barat, feminisme Indonesia dicap sebagai anak dari gerakan feminis sesat di barat karena ada benturan antara agama dan negara. Sehingga gerakan gender merasa terhalangi. Padahal gerakan ini tidak bisa kita pungikiri, bahwa sejarah tujuan gebrakan gender mempunyai banyak perbedaan dalam masa dan waktu.

Gerakan gender di Indonesia banyak dipengaruhi sedikit banyaknya peran aktif perempuan dalam perpolitikan. Misal kita mengetahui Cut nyak dien dan Cut Meutia dari Aceh, Kartini dari Jawa Tengah, Dewi Sartika dari Jawa Barat, Martha Christina Tiahahu dari Maluku dll. Beliau semuanya pejuang kemerdekaan, semangat nasionalis yang tinggi tanpa memandang etnik dan agama masing-masing. Kartini memperjuangkan perempuan untuk menetralisir kasta priyai, rakyat jelata dan kulit putih. Pendidikan antar mereka mempunyai gap cukup kuat. Perempuan dijadikan selir dan menjadi buruh kolonial. Memasuki Rezim Soekarno, perempuan diberi keluesan dalam wadah perpolitikan, suara perempuan tercatat dalam UU Kementrian peranan wanita. Disamping ada suasana positif, banyak juga timbul negatif dari situasi kondisi yang lambat laun ada, poligami yang dijalankan oleh Soekarno membuka kekerasan dalam rumah tangga, banyak para istri menjanda, kebutuhan pokok tidak bekerja dengan baik. Pun demikian rezim Soeharto, subordinatif perempuan masuk dalam program reproduksi perempuan dengan berdirinya Dharma Wanita (gerakan istri para pejabat) dan pergerakan Candra Kirana (gerakan istri para militer) karena gerakan ini justru membawa eksistensi perempuan dalam stigma konco ing wingking, subordinitas perempuan atas nama suami dan diskrimanatif antar kasta. 

Pada era 90-an, perempuan banyak mengalami ketimpangan bukan timbul dari luar artinya objek bukan dari kaum lelaki atau ada karena sistem, namun masa modern kini banyak membawa perempuan diri sendiri menjadi pusat objektifitas eksploitasi diri. Banyak tuna asusila, korban pemerkoasaan, poligami dan menjadi WIL. Mengapa demikian, nilai ekonomi merosot, fluktuasi melahirkan beberapa dampak cukup rumit. Pergeseran kewajiban kaum lelaki di tangan perempuan, akhirnya kemiskinan dimana-mana, sehingga tuna wisma, tuna pendidikan dan pendidik hampir punah. Sehingga LSM perlu dan wajib ada pada masa ini. Banyak yayasan independen mensolidaritaskan perempuan baik dalam hak individu dan bermasyarakat.

Islam mengajarkan berbagai bentuk nilai penghormatan terhadap perempuan yang semuanya sudah diatur dalam beberapa buku fikih yang disebut fiqh al mar’ah. Konsep yang dibuat semuanya termuat dari masalah haid, nifas, hukum pernikahan, waris, khitan perempuan, jilbab dan cadar, hukum pemimpn perempuan, poligami dll. Seperti di pesantren kita mempelajari kitab turats uqud dulujain oleh imam Nawawi al Bantani dari Banten.

Dari beberapa pejuang feminis laki-laki di Indonesia, masyarakat mengalami titik geser dan pandangan miring terhadap mereka. Para lelaki cawe-cawe dalam permasalahan perempuan dinilai negatif. Beberapa alasan seperti adakah unsur politis dan keserakahan kedudukan, bukan objek yang sesuai untuk mendalaminya dan pada akhirnya mengalami kemandegan. Hal tersebut dalam beberapa tulisan Emha Ainun Najib, Nur Cholis Majid, Goenawan Muhammad, Irshad Manhaji, Gus Mus dalam puisi cintanya yang disandarkan lewat sang sufi (Gandrung Cinta cet. LKIS) dll dari pendapat yang tercounter dalam beberapa karyanya. Sayangnya, mereka lebih fokus pada urusan teologis sehingga tidak banyak dielu-elu dan tersohor. Sangat berbeda sekali dengan karya-karya para sarjanawan Arab seperti Syekh Ramadhan Bouty dalam al-Mar ah baina Thughyan an-Nidhom al-Gharb wa Lathoif al-Tasyri' al-Islamy, Syekh Ali Jumah dalam Fatwa Nisa’ al ‘arobiyah fi ‘asri al Mu’ashiroh, Muhammad Imaroh dalam al Roddu fi Syubhat al Nisa’, almarhum Syekh  Thantawi dalam Fatawa Nisa’, almarhum Syekh Jamal al Bana dalam al Hijab dan Qodhoya al Mar’ah Baina Tahrir al Qur’an wa Taqyid al Fukaha, Qasim Amin dalam Tahrir al Mar’ah, Rif’at Tahtawi dalam Mar’atun Jadidah.

Banyak  asumsi bahkan pernyataan yang terdengar, ketika benturan gerakan perempuan dan agama sangat kontras, hal ini menimbulkan permasalahan yang cukup rumit. Bagaimana ketika kaum fundamentalis menyatakan jilbab itu wajib. Ya, mau tidak mau sudah menjadi sebuah sejarah, bahwa Islam arabisme membawa akulturasi budaya di nusantara. Ketika sebuah pemaknaan hijab misalkan menjadi buah tema yang besar dari salah satu urusan gender. Hijab ketika dilontarkan dan dibuang pemaknaanya, maka yang terjadi adalah warna-warni pandangan ulama dan pemikir Islam. Para orientalis menyebutnya sebagai ayat misoginis, para fundamentalis menyebutnya sebuah keharusan dan pejuang feminitas menyebutnya hal ini akulturasi budaya. 

Penulis sangat kagum atas apa-apa yang dicontohkan kepada nabi kita Muhammad SAW dalam menghadapi istri beliau, umat hawa dan para sahabat-sahabatnya.Karena ada pepatah mengatakan, berdiri sama tinggi berduduk sepadan, sangat humanis sekali. Karena yang kita ketahui bersama, persoalan gender tidak sebatas masalah hijab atau hukum kepemimpinan, realita menyebutkan masih banyak ketimpangan perempuan terkait KDART. Maka, sangat bersyukur ketika lembaga konseling LSM seperti LKP2 Fatayat memberi jawaban atas permasalahan-permasalahan perempuan di balik tabir perempuan (cetakan fatayat PBNU 2010), sangat dramatis jika kita di sini membacanya. Beberapa kasus seperti poligami yang tak diketahui dari pihak perempuan yang berakibat sulit komunikasi dengan anak, perkawinan beda agama yang menimbulkan cerai dini, hamil di luar nikah dll. Berlanjut Komnas Perempuan di Indonesia sebagai konselor sekaligus penerimaan pelatihan-pelatihan juga diskusi dengan Fahimna. Ternyata keikut-andilan KH. Husen Muhammad yang dikenal dengan kyai nyentrik juga pejuang gebrakan wanita sangat aktif di sini. Beliau memberi interpretasi yang humanis antara kitab turats seperti safinatun najat sampai Fathul wahab yang biasa kita pelajari di pesantren dimaknai secara realitas dan serasi dengan jaman, analisa fikih melalui hermeunetik dan sosial. Pun demikian buah karya dari beliau cukup banyak seperti perempuan dalam kacamata Kyai Husen Muhammad, ijtihad kyai Husen upaya membangun keadilan gender dan beberapa karya puisi sufistik. Selain itu karya feminis Syafiq Hasyim juga termuat dalam buku bebas dari patriarkhisme dalam Islam cetakan 2010 yang berisi bagaimana hegemoni perempuan dalam masyarakat pesantren dan jawaban para ulama mengenai sepak terjang gerakan perempuan. Gus Mus memberikan analisa sejarah keislaman secara humanis terhadap permasalahan perempuan, katanya: Para ulama perempuan juga aktif sekali dalam gerakan perempuan itu sendiri bahkan seperti bunyai Sinta Nuriyah, bunyai Nur Chodijah dari Jawa Timur, bunyai Fatimah al Yunusiah dari Sumbar, nyai Khoiriyah Hasyim, Nyai Nuri Maksum yang laiknya seperti kyai-kyai mengajarkan santrinya. Bahkan buku karya ulama arab seperti Ramadhan al Bouty sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang berjudul Fikih Nisa’.

Sungguh Islam memberi porsi sebaik-baiknya menempatkan diri dari bilik kesuraman ke bilik pencerahan. Beberapa kisah yang didongengkan dalam kitab al qur’an sangat penting kita cerna mendalam dalam nilai-nilai kemanusiaaan dan sosial perempuan. Kita bisa memepelajari juga banyak para nama perempuan seperti sayyidah Maryam, Siti Rahma istri nabi Ibrahim, Siti Zulaikha dalam surat Yusuf, kisah ratu Bilqis dari Saba’, kisah Siti Hajar (istri sekaligus ibu dari nabi), kesabaran dan kekuatan iman siti Asiyah istri Firaun (Tahrir al Mar’ah fi ‘asri Risalah oleh DR. Ahmad Abu Saqoh, dar al qolam 2011). Jika berkaca dari hal baik, tentulah perempuan sebagai diri ke-akuannya baik pula, karena Tuhan mengasihi Hawa sebagaimana Ia mengasihi Adam. Perempuan baik menjalani tugas kefitrahannya dan kelebihannya berkecimpung dunia sosial membawanya sebagai cerminan yang telah diajarkan sang rahmatan lil’alamin. Wallaho a’lam. (Pimred majalah Hawa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar