Oleh Mei Rahmawati*
Kita semua sudah memahami bahwa Islam adalah agama
selamat, yang baik bagi pemeluknya dan secara kultur membentuk pribadi manusia
yang berkarakter dan berbudaya. Semua tahu dan paham bahwa nabi Muhammad
pembawa kasih dan sayang bagi seluruh umatnya. Salah satunya membebaskan kaum
perempuan di bawah pasungan sejak masa
jahiliyah, seperti penguburan bayi dan
wanita secara hidup-hidup, sabotase hak waris, perbudakan dan penjualan
perempuan.
Setelah Islam masuk terkhusus di nusantara berdasarkan
periwayatan sejarah babad tanah jawa datang melalui tiga jalan. Pertama:
perdagangan, kedua: pernikahan dan terakhir: tukar-menukar kebudayaan. Umat Islam di Indonesia menduduki
agama mayoritas, namun semua itu tidak lepas dari ingatan sejarah baik yang
tertulis atau tak tertulis. Banyaknya akulturasi budaya bagi orang awwam merasa
kaget jika terjadi perubahan yang tak sesuai dengan jamannya. Streotip
masyarakat berdampak mengambil jarak antar kaum muda intelektual. Sehingga
banyak corak islam yang diwarnai dengan pluralitas bahasa secara sendiri. Pembahasan
gender tidak asing lagi di telinga kita, di Indonesia banyak diberi pemahaman
memiliki intervensi dengan barat sebagai negara yang bertentangan dengan
budaya, adat dan agama. Di sinilah terdapat sinkronasi sejarah antara gender di
Indonesia dan barat, feminisme Indonesia dicap sebagai anak dari gerakan
feminis sesat di barat karena ada benturan antara agama dan negara. Sehingga
gerakan gender merasa terhalangi. Padahal gerakan ini tidak bisa kita
pungikiri, bahwa sejarah tujuan gebrakan gender mempunyai banyak perbedaan
dalam masa dan waktu.
Gerakan gender di Indonesia banyak dipengaruhi sedikit
banyaknya peran aktif perempuan dalam perpolitikan. Misal kita mengetahui Cut
nyak dien dan Cut Meutia dari Aceh, Kartini dari Jawa Tengah, Dewi Sartika dari
Jawa Barat, Martha Christina Tiahahu dari Maluku dll. Beliau semuanya pejuang
kemerdekaan, semangat nasionalis yang tinggi tanpa memandang etnik dan agama
masing-masing. Kartini memperjuangkan perempuan untuk menetralisir kasta
priyai, rakyat jelata dan kulit putih. Pendidikan antar mereka mempunyai gap
cukup kuat. Perempuan dijadikan selir dan menjadi buruh kolonial. Memasuki
Rezim Soekarno, perempuan diberi keluesan dalam wadah perpolitikan, suara
perempuan tercatat dalam UU Kementrian peranan wanita. Disamping ada suasana
positif, banyak juga timbul negatif dari situasi kondisi yang lambat laun ada,
poligami yang dijalankan oleh Soekarno membuka kekerasan dalam rumah tangga,
banyak para istri menjanda, kebutuhan pokok tidak bekerja dengan baik. Pun
demikian rezim Soeharto, subordinatif perempuan masuk dalam program reproduksi
perempuan dengan berdirinya Dharma Wanita (gerakan istri para pejabat) dan
pergerakan Candra Kirana (gerakan istri para militer) karena gerakan ini justru
membawa eksistensi perempuan dalam stigma konco ing wingking,
subordinitas perempuan atas nama suami dan diskrimanatif antar kasta.
Pada era 90-an, perempuan banyak mengalami ketimpangan
bukan timbul dari luar artinya objek bukan dari kaum lelaki atau ada karena
sistem, namun masa modern kini banyak membawa perempuan diri sendiri menjadi
pusat objektifitas eksploitasi diri. Banyak tuna asusila, korban pemerkoasaan,
poligami dan menjadi WIL. Mengapa demikian, nilai ekonomi merosot, fluktuasi
melahirkan beberapa dampak cukup rumit. Pergeseran kewajiban kaum lelaki di
tangan perempuan, akhirnya kemiskinan dimana-mana, sehingga tuna wisma, tuna
pendidikan dan pendidik hampir punah. Sehingga LSM perlu dan wajib ada pada
masa ini. Banyak yayasan independen mensolidaritaskan perempuan baik dalam hak
individu dan bermasyarakat.
Islam mengajarkan berbagai bentuk nilai penghormatan
terhadap perempuan yang semuanya sudah diatur dalam beberapa buku fikih yang
disebut fiqh al mar’ah. Konsep yang dibuat semuanya termuat dari masalah
haid, nifas, hukum pernikahan, waris, khitan perempuan, jilbab dan cadar, hukum
pemimpn perempuan, poligami dll. Seperti di pesantren kita mempelajari kitab
turats uqud dulujain oleh imam Nawawi al Bantani dari Banten.
Dari beberapa pejuang feminis laki-laki di Indonesia,
masyarakat mengalami titik geser dan pandangan miring terhadap mereka. Para
lelaki cawe-cawe dalam permasalahan perempuan dinilai negatif. Beberapa
alasan seperti adakah unsur politis dan keserakahan kedudukan, bukan objek yang
sesuai untuk mendalaminya dan pada akhirnya mengalami kemandegan. Hal tersebut
dalam beberapa tulisan Emha Ainun Najib, Nur Cholis Majid, Goenawan Muhammad,
Irshad Manhaji, Gus Mus dalam puisi cintanya yang disandarkan lewat sang sufi
(Gandrung Cinta cet. LKIS) dll dari pendapat yang tercounter dalam
beberapa karyanya. Sayangnya, mereka lebih fokus pada urusan teologis sehingga
tidak banyak dielu-elu dan tersohor. Sangat berbeda sekali dengan karya-karya
para sarjanawan Arab seperti Syekh Ramadhan Bouty dalam al-Mar ah baina Thughyan an-Nidhom al-Gharb
wa Lathoif al-Tasyri' al-Islamy, Syekh Ali Jumah dalam Fatwa Nisa’ al ‘arobiyah fi
‘asri al Mu’ashiroh, Muhammad Imaroh dalam al Roddu fi Syubhat al
Nisa’, almarhum Syekh Thantawi dalam
Fatawa Nisa’, almarhum Syekh Jamal al Bana dalam al Hijab dan Qodhoya
al Mar’ah Baina Tahrir al Qur’an wa Taqyid al Fukaha, Qasim Amin
dalam Tahrir al Mar’ah, Rif’at Tahtawi dalam Mar’atun Jadidah.
Banyak asumsi
bahkan pernyataan yang terdengar, ketika benturan gerakan perempuan dan agama
sangat kontras, hal ini menimbulkan permasalahan yang cukup rumit. Bagaimana
ketika kaum fundamentalis menyatakan jilbab itu wajib. Ya, mau tidak mau sudah
menjadi sebuah sejarah, bahwa Islam arabisme membawa akulturasi budaya
di nusantara. Ketika sebuah pemaknaan hijab misalkan menjadi buah tema yang
besar dari salah satu urusan gender. Hijab ketika dilontarkan dan dibuang
pemaknaanya, maka yang terjadi adalah warna-warni pandangan ulama dan pemikir Islam.
Para orientalis menyebutnya sebagai ayat misoginis, para fundamentalis
menyebutnya sebuah keharusan dan pejuang feminitas menyebutnya hal ini
akulturasi budaya.
Penulis sangat kagum atas apa-apa yang dicontohkan kepada
nabi kita Muhammad SAW dalam menghadapi istri beliau, umat hawa dan para
sahabat-sahabatnya.Karena ada pepatah mengatakan, berdiri sama tinggi berduduk
sepadan, sangat humanis sekali. Karena yang kita ketahui bersama, persoalan
gender tidak sebatas masalah hijab atau hukum kepemimpinan, realita menyebutkan
masih banyak ketimpangan perempuan terkait KDART. Maka, sangat bersyukur ketika
lembaga konseling LSM seperti LKP2 Fatayat memberi jawaban atas
permasalahan-permasalahan perempuan di balik tabir perempuan (cetakan fatayat
PBNU 2010), sangat dramatis jika kita di sini membacanya. Beberapa kasus
seperti poligami yang tak diketahui dari pihak perempuan yang berakibat sulit
komunikasi dengan anak, perkawinan beda agama yang menimbulkan cerai dini, hamil
di luar nikah dll. Berlanjut Komnas Perempuan di Indonesia sebagai konselor
sekaligus penerimaan pelatihan-pelatihan juga diskusi dengan Fahimna. Ternyata
keikut-andilan KH. Husen Muhammad yang dikenal dengan kyai nyentrik juga
pejuang gebrakan wanita sangat aktif di sini. Beliau memberi interpretasi yang
humanis antara kitab turats seperti safinatun najat sampai Fathul
wahab yang biasa kita pelajari di pesantren dimaknai secara realitas dan
serasi dengan jaman, analisa fikih melalui hermeunetik dan sosial. Pun demikian
buah karya dari beliau cukup banyak seperti perempuan dalam kacamata Kyai Husen
Muhammad, ijtihad kyai Husen upaya membangun keadilan gender dan beberapa karya
puisi sufistik. Selain itu karya feminis Syafiq Hasyim juga termuat dalam buku bebas
dari patriarkhisme dalam Islam cetakan 2010 yang berisi bagaimana hegemoni
perempuan dalam masyarakat pesantren dan jawaban para ulama mengenai sepak
terjang gerakan perempuan. Gus Mus memberikan analisa sejarah keislaman secara
humanis terhadap permasalahan perempuan, katanya: Para ulama perempuan juga
aktif sekali dalam gerakan perempuan itu sendiri bahkan seperti bunyai Sinta
Nuriyah, bunyai Nur Chodijah dari Jawa Timur, bunyai Fatimah al Yunusiah dari
Sumbar, nyai Khoiriyah Hasyim, Nyai Nuri Maksum yang laiknya seperti kyai-kyai
mengajarkan santrinya. Bahkan buku karya ulama arab seperti Ramadhan al Bouty
sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang berjudul Fikih Nisa’.
Sungguh Islam memberi porsi sebaik-baiknya menempatkan
diri dari bilik kesuraman ke bilik pencerahan. Beberapa kisah yang didongengkan
dalam kitab al qur’an sangat penting kita cerna mendalam dalam nilai-nilai
kemanusiaaan dan sosial perempuan. Kita bisa memepelajari juga banyak para nama
perempuan seperti sayyidah Maryam, Siti Rahma istri nabi Ibrahim, Siti Zulaikha
dalam surat Yusuf, kisah ratu Bilqis dari Saba’, kisah Siti Hajar (istri
sekaligus ibu dari nabi), kesabaran dan kekuatan iman siti Asiyah istri Firaun (Tahrir
al Mar’ah fi ‘asri Risalah oleh DR. Ahmad Abu Saqoh, dar al qolam 2011).
Jika berkaca dari hal baik, tentulah perempuan sebagai diri ke-akuannya baik
pula, karena Tuhan mengasihi Hawa sebagaimana Ia mengasihi Adam. Perempuan baik
menjalani tugas kefitrahannya dan kelebihannya berkecimpung dunia sosial
membawanya sebagai cerminan yang telah diajarkan sang rahmatan lil’alamin.
Wallaho a’lam. (Pimred majalah Hawa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar