Banyak sekali
perubahan dan pergantian sejarah dari masa kemasa, dari tempat ke tempat dari
kondisi ke kondisi yang lain. Sekarang kita melihat banyak sekali perubahan
status sosial mengarah pada persamaan, walaupun di beberapa tempat kita lihat
masih ada ketimpangan. Oke, kita menuju pada hal positifnya saja.
Dinamika
sosial dan budaya
Pada jaman
Feodalisme, sekitar tahun 1800an kita tahu bahwsanya Indonesia masih berada di
bawah cengkeraman penjajahan Belanda. Banyak ketimpangan-ketimpangan yang
terjadi di bumi pertiwi kita. Rakyat pribumi sangat sengsara. Upeti berupa
hasil pertanian seperti padi, tembakau dan gula sebagai sembako (barang pokok
pangan) begitu mudahnya diraup penjajah. Kaum perempuan bekerja menjadi buruh kolonial Belanda dengan menjahit,
menenun, menganyam dan menjadi baby sitter anak mereka. Di jaman ini banyak
keningratan, para priyayi hidup dalam istana kekeratonan layaknya para permaisuri. Perempuan
berkasta, ada yang menjadi istri legal (biasa dikenal padmi) ada juga
selir-selir.
Hal ini ada di jaman Kartini, walau Kartini
sendiri adalah anak dari selir, namun jiwanya telah mendobrak dan memberantas segala
macam kepriyayian. Hal ini bisa kita melihat wujud keseharian beliau, misal Ibu
kandungnya diajaknya makan bersama suatu ketika acara makan malam bersama para
saudara perempuan, duduk sama tinggi sama rendah di krsi yang sama. Beliau
tidak membedakan mana ibu kandung dan ibu tiri, baginya setara. Disuatu siang
hari itu, ia meminta ijin ibu kandungnya yang sedang menenun di belakang teras
rumah untuk keluar keraton, mengunjungi seorang ibu beranak 4 tanpa suami untuk
diberi sebungkus nasi. Kartini juga dikenal cukup pandai dalam hal seni,
seperti menganyam, menenun dan melukis. Hingga suatu hari hasil karya tangannya
itu diajarkan pada para saudaranya (Rukmini dan Kardinah) juga
perempuan-perempuan rakyatnya. Perempuan mandiri, karya-karya kerajinan tangan
tersebut dijual di pasar-pasar dan ke tangan para kolonial juga. Kartini
memasuki masa baru bersama suami (Raden Mas Djojoadiningrat, Bupati Rembang waktu itu), ia
menolak adat pernikahan kejawen seperti yang dilakukan oleh pernikahan adiknya,
Kardinah. Membasuh kaki suami, menceplok telur, mencium kaki suami dll. Yang
ada hanya berjalan sama tinggi dengan pesta yang sangat sederhana tanpa
tuntutan adat. Baginya juga sistem poligami membawa kehancuran malapetaka
sebuah anjangsana keluarga. Sempat shock bahwa dia sebagai seorang padmi muda
dari kalangan selir bagi suaminya sendiri. Dengan lantang ia megatakan bahwa
"Kangmas bukan seorang kesatria, dengan membuat sekat antara dia dan istri
lain, membedakan meja makan diantara anak-anak mereka dan selir hanya sebagai
pelampiasan nafsu semata.
Terimakasih ibu, hingga
sekarang kami menikmati perjuanganmu. Perempuan bisa hidup mandiri dengan
kelebihan dan kecerdasannya tanpa harus menunggu dan menggantungkan suami atau
para lelaki. Perempuan banyak sekali memasuki ruang sosial.Bekerja sebagai
guru, dokter, polwan, tukang sayur di pasar-pasar, penjual jajanan pasar,
membantu suami di ladang dan sawah, membuat kerajinan tangan dll. Tidak melulu hidup dalam sekat tembok. Mampu
bersosial dengan banyak orang dan saling bantu membantu. Sehingga pada tingkat
ekonomi kelas bawah pun, perempuan mampu membuka isolasi kehidupannya yang
rumit. Perempuan tidak
menginginkan mengungkuli hak dan kewajiban lelaki, tidak ingin menghapus
kefitrahannya dan tidak menginginkan ketergantungan. Namun perempuan
menginginkan kesetaraan yang sesuai kebutuhan, sama hidup, sama aman dan
nyaman.
Dalam hal pendidikan
Ketika itu, Kartini
belajar bersama kawan-kawannya di sekolah. Sejak kecil, ia mempunyai kecerdasan
salah satunya dalam menghafal berbagai bahasa. Yang menarik, dia mempunyai sahabat
sejak kecil bernama Stella (anak Belanda). Setiap jam pelajaran usai, ia mengajak sahabatnya itu sambil bermain bandulan dan
berskusi singkat. Ketika itu, ia
bekata "Wahai Stella, aku tahu kamu cantik berkulit
putih dan pandai di kelas kami. Aku melihat banyak sekali bangsamu duduk
bersila bersamaku. Tapi mengapa dari hari ke hari, tahun ke tahun, aku tidak
melihat satupun dari bangsa kami sendiri. Ataukah mereka merasa enggan bersama
kaumku berkulit sawo matang, banyak sekali dari kaum perempuan khususnya tidak
mendapatkan pelajaran, bahasa Belanda pun tidak kami pahami sedikitpun. Sungguhkah penjajahan itu
tidak ada rasa belas kasih secuilpun? " Jelas Kartini.
Percakapan diatas
adalah hasil pemikiran matang-matang Kartini terhadap nasib kaumnya. Bertubi-tubi
ia merasakan hal bagaimana jika itu terjadi pada dirinya. Singkat cerita,
Kartini mengajarkan membaca huruf satu demi satu dengan satu murid bernama
Gayatri. Sampai pada saat yang singkat, beliau mempunyai banyak murid perempuan
Jawa (kaumnya) dalam sekolah yang tidak cukup luas (rumahnya dibuat sekolahan dengan nama Pendopo di Kabupaten Jepara 1903) dan yang paling penting kartini mengajarkan tingginya nilai moral.
"Anak-anakku, tidak malukah engkau sebagai anak Padmi, atau katakankan
pada ibumu semua, bukanlah seorang istri sejati jika tidak bermoral padmi yang
santun".
Pada era sekarang,
kita semua bisa membuka mata bahwa pendidikan dapat dikenyam dan dilahap oleh
berbagai suku, adat dan ras. Mudah didapat oleh bermacam kasta dan jabatan. Pendidikan
mudah dimiliki oleh setiap anak dari keluarga ploretar tanpa ada cibiran. Baik
dari keluarga tukang sol sepatu, tukang becak, tukang pangkas rambut, tukang
jalanan, tukang tambal ban dll. Anak kyai mengikuti pelajaran satu sekolah
dengan anak para santri, anak dosen mendapatkan sekolah satu kurikulum dengan
anak guru TK, dan anak pengusaha sama halnya dapat beasiswa dengan anak petani.
Selain itu, sekolah
khusus perempuan sudah banyak didirikan, sekolah Dharma Wanita, sekolah Taman
Siswi, sekolah kursus kewanitaan (menjahit, menenun, menyulam, melukis,
memasak). Bahkan sekolah tidak hanya sebatas di bangku sekolah. Bisa di jalan,
kita perempuan bebas keluar rumah memahami dan melihat secara seksama bagaimana
rumitnya kehidupan, kita mampu membuka hati luas dengan menghayati makna
kehidupan. Perempuan bebas untuk bekerja, berkarya dan berdiskusi. Perempuan
bebas apapun tanpa meninggalkan hal-hal kefitrahannya sesuai yang diajarkan
oleh ibu RA. Kartini. Baginya, seorang pengajar tidak sebatas memberi pelajaran
tetapi juga pendidik layaknya ibu mengemong (mendidik) anaknya.
# Surat Kartini untuk Ny. Abendanon 12 Des 1902
Selama di dunia ini masih ada airmata yang harus dikeringkan, masih ada
hati yang perlu dihibur, selama itu kami akan selalu sibuk dan banyak bekerja
dan karenanya masa bahagia.
Kairo, 21 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar