Oleh Mei
Rahmawati
Dalam
teologi Islam, eksistensi perempuan sebagai makhluk Tuhan, menempati posisi
kedua setelah kaum Adam. Hawa baru diciptakan, setelah Adam telah ada terlebih
dahulu. Hal ini menggambarkan bahwa kaum perempuan seakan-akan hanya sebagai
pelengkap bagi kaum laki-laki. Posisinya yang nomer dua, ternyata tidak saja
secara fitrah pribadi, namun juga sebagai manusia. Hal tersebut membuat
perempuan merasa kurang mendapat penghargaan dan pernghormatan. Alangkah lebih
baiknya kalau perempuan tidak hanya sekedar melahirkan,
tapi juga sebagai makhluk sosial yang bersosialisasi dan berkarya untuk turut
membantu dan membangun sekitarnya.
Negara yang
tidak rata tingkat kesejahteraan rakyatnya mengakibatkan kontrol sosial lemah
yang tidak sesuai cita-cita bangsa. Akibatnya, banyak masyarakat terlantar,
kelaparan, kemiskinan, buta huruf dan masalah sosial lainnya. Perempuan sebagai
bagian dari bangsa, baik beridentitas sebagai anak, istri, dan anggota
masyarakat, berkewajiban memikirkan dan melakukan penyelesaian masalah tersebut.
Dalam sepenggal kalam Tuhan berfirman: “La yungghoyyiru maa biqoumin hatta
yunggoyyiruu maa bianfusihim”.
Sebagai
mahasiswa luar negeri, kita menyadari peran diri sebagai bagian dari bangsa untuk
membangun kemajuan bumi pertiwi. Menggali dan mengembangkan kemampuan bukan
mudah, sehingga harus lebih semangat demi mencapainya. Tidak cukup membaca buku
dan ujian, namun lebih dari itu, menulis, menganalisa, menemukan ide, berkarya
dan bersosial. Salah satu bersosial adalah berorganisasi. Disana mengenal
karakter manusia yang berbeda,
bertukar pendapat, saling mengisi kekurangan masing-masing,
juga belajar bergotong royong.
Masisir
mempunyai beragam organisasi perempuan,
baik yang dikelola di bawah lindungan KBRI atau independen. Di antaranya:
Wihdah PPMI, Organisasi Ormas (Fatayat PCI-NU dan Aisiyah PCIM), organisasi keputrian tiap daerah, organisasi perempuan
alumni almamater pesantren. Banyak wadah
organisasi perempuan tapi hanya beberapa individu yang aktif. Salah satu alasan
tersebut yaitu masalah penempatan perempuan. Seperti ada perbedaan antara
perempuan yang tinggal di asrama dengan di luar asrama. Maka anak asrama yang
aktifis tentu merasa sedih, bila kesempatan aktifitas di luar belum selesai
karena jadwal masuk asrama di malam hari terasa singkat. Namun tinggal di luar
asrama juga bukan berarti menjanjikan keaktifan, karena tidak sedikit yang
ternyata lebih memilih diam di dalam kamar. Demikian juga bagi yang tinggal di
asrama, ternyata banyak yang hanya keluar asrama karena acara-acara
non-keilmuan saja, seperti tasyakuran, ulang tahun, musa’adah, wada’an, dan
yang semacamnya. Ini sangat disayangkan. Sebagaimana laki-laki, perempuan
juga memiliki cita-cita. Namun seringkali apa yang dikerjakan perempuan hanya
begitu-begitu saja, tidak menambah ilmu pengetahuan sama sekali.
Penulis
menyimpulkan beberapa problem perempuan Masisir, yang pertama; daya pikir. Misal
banyak organisasi perempuan yang belum
mampu mengkonsep dari hasil otak perempuan sendiri. Buktinya, berbagai program
kegiatan, belum berani melakukan inovasi-inovasi segar. Pada akhirnya program
kerja yang seharusnya dimiliki perempuan, masih ada campur tangan lelaki.
Contoh lain, seminar atau kajian umum yang dihadiri laki-laki dan perempuan.
Di saat sesi pertanyaan dibuka, bisa dipastikan
bahwa perempuan
tidak berani mengacungkan tangan.
Masalah
kedua yaitu semangat berkarya. Mengingat memori masa silam, pada tahun sekitar 2000
hingga 2005-an, penulis banyak
melihat geliat Masisir perempuan sangat agresif dengan aktif berperan, baik
dari akademis hingga aktifis yang berkarya melalui bakat masing-masing. Misal saja Ika
Yunia Fauzia, yang belajar menulis terus-menerus dan membuat karya novel di Masisir, hingga kumpulan cerpennya
pernah termuat di majalah Indonesia. Tidak hanya itu, ada juga Fatimah Zahra, seorang novelis juga. Pada tahun belakangan, ada juga beberapa buku karya perempuan, seperti Nihayatul Husna dan
Mayadah. Namun disayangkan, untuk karya dalam bidang non-fiksi belum pernah
ada. Pada tahun-tahun itu, jumlah aktifis perempuan yang aktif di bidang kajian
yang menghasilkan karya tulis ilmiah dalam bentuk kumpulan makalah terbilang
cukup banyak, dan itu berbeda dengan sekarang.
Masalah ketiga
adalah komunikasi. Banyak perkembangan tekhnologi komunikasi menyuguhkan
kemudahan akses di jejaring sosial, seperti Tweeter, Facebook, Blogger, Whats Up.
Tapi sayang sekali, berbagai fasilitas tersebut belum teroptimalkan fungsi dan kegunaannya dengan lebih bermanfaat.
Sebaliknya, masih sekedar
digunakan untuk curhat, narsis, tempat memajang berbagai foto, yang pada
akhirnya kehilangan visi-misi untuk maju.
Adapun solusi
yang penulis tawarkan; Pertama, selalu
berpikir dan resah atas apa yang terjadi dari
diri masing-masing. Setiap hari jika tidak melakukan lebih kebaikan dan
menghasilkan sesuatu, maka jangan pernah berharap maju dan bisa. Maju di sini
adalah mampu menyatukan semua identitas perempuan sebagai anak, istri dan
sebagai bagian dari masyarakat. Bahkan menikah, bukan satu identitas yang wajib
disesali dan dikutuk, yang karenanya sering dijadikan alasan untuk
mengesampingkan cita-cita. Penulis sangat
terinspirasi dengan idealisme Tolstoy, seorang filusuf
Rusia.
Baginya, menikah itu bukan tujuan akhir, tetapi sebagai perantara untuk
mewujudkan cita-cita. Di sini menikah sama saja dengan mengayuh roda kehidupan
alam, yang menghasilkan pengetahuan, pengalaman, etika dan nilai moralitas,
sebagai jembatan yang mengantarkan keberlangsungan hidup yang
harmonis. Kedua, kekayaan
membaca, merenungkan hasil baca, juga menginterpretasikan apa yang dibaca baik
dalam bentuk tulis atau lisan. Sebagaimana dalam ayat
al-Quran pertama yang diturunkan adalah Iqro’.
Karena membaca dapat menuntun seseorang untuk
megetahui sesuatu yang belum diketahui. Setelah membaca, tentu memerlukan
tindak lanjut. Karena jika kita hanya berpusat pada membaca tanpa tindak
lanjut yang jelas, maka akan lupa dengan apa yang
didapat, dan akhirnya tidak banyak karya perempuan yang
terlihat. Marilah kita memulai untuk ibda’ dan ibda’. Ketiga, mengesampingkan
fitrah perempuan yang individualis, narsisis, gengsi
dan terkesan manja. Sikap-sikap demikian hanya akan menjadi kuman yang sebaiknya disingkirkan. Keempat, perempuan mesti berani. Malu adalah hal
penting yang perlu dimiliki perempuan, tapi malu dalam hal mengembangkan diri
adalah malu yang tidak bermanfaat.
Perempuan harus memperjuangkan dirinya sendiri, dan harus berhenti menggantungkan
diri terhadap perjuangan laki-laki. Teringat banyak perempuan termarginalkan
akibat peran domestik dan sedikit potret perempuan yang eksis di publik. Seperti
keresahan Nawal dalam “Perempuan di bawah Titik Nol” yang menyatakan
bahwa mengapa laki-laki saja yang dikenal
dan terdokumentasi sebagai pejuang perempuan, seperti; Rifaat Tahtawi, Qosim
Amin, Jamaluddin al Afghani dll? Padahal masih banyak lebih baik dari perempuan
sendiri, seperti Huda Sya’rawi, Aisyah Taimura, Aminah Wadud, Mey Ziadah dll.
Berhubung
memperingati hari idul fitri, mari kita mensucikan diri dan menjernihkan
problematika perempuan. Seyogyanya kita segera menyadari atas berbagai kritikan
yang selama ini ditujukan terhadap perempuan. Sekarang kita jadi malu, sebagai
perempuan yang selama ini banyak diperbincangkan, malah diam begitu saja.
Rasa-rasanya ingin bangkit seketika, kala menghayati pemikiran RA. Kartini bahwa
dalam memperjuangkan harkat dan martabat
perempuan, “Memang suatu pekerjaan yang seolah-olah tak
mungkin dapat dikerjakan. Tapi, siapa
tidak berani, tak akan menang. Ayo maju! Bertekad
saja untuk mencoba semua! Siapa nekad, dia mendapat tiga perempat dunia!”, demikian tulis Kartini penuh semangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar