Kamis, 16 Agustus 2012

Menjadi Perempuan yang Tidak Curhat Saja


Oleh Mei Rahmawati

Dalam teologi Islam, eksistensi perempuan sebagai makhluk Tuhan, menempati posisi kedua setelah kaum Adam. Hawa baru diciptakan, setelah Adam telah ada terlebih dahulu. Hal ini menggambarkan bahwa kaum perempuan seakan-akan hanya sebagai pelengkap bagi kaum laki-laki. Posisinya yang nomer dua, ternyata tidak saja secara fitrah pribadi, namun juga sebagai manusia. Hal tersebut membuat perempuan merasa kurang mendapat penghargaan dan pernghormatan. Alangkah lebih baiknya kalau perempuan tidak hanya sekedar melahirkan, tapi juga sebagai makhluk sosial yang bersosialisasi dan berkarya untuk turut membantu dan membangun sekitarnya.  
Negara yang tidak rata tingkat kesejahteraan rakyatnya mengakibatkan kontrol sosial lemah yang tidak sesuai cita-cita bangsa. Akibatnya, banyak masyarakat terlantar, kelaparan, kemiskinan, buta huruf dan masalah sosial lainnya. Perempuan sebagai bagian dari bangsa, baik beridentitas sebagai anak, istri, dan anggota masyarakat, berkewajiban memikirkan dan melakukan penyelesaian masalah tersebut. Dalam sepenggal kalam Tuhan berfirman: “La yungghoyyiru maa biqoumin hatta yunggoyyiruu maa bianfusihim”.  
Sebagai mahasiswa luar negeri, kita menyadari peran diri sebagai bagian dari bangsa untuk membangun kemajuan bumi pertiwi. Menggali dan mengembangkan kemampuan bukan mudah, sehingga harus lebih semangat demi mencapainya. Tidak cukup membaca buku dan ujian, namun lebih dari itu, menulis, menganalisa, menemukan ide, berkarya dan bersosial. Salah satu bersosial adalah berorganisasi. Disana  mengenal  karakter  manusia yang berbeda, bertukar pendapat, saling  mengisi kekurangan masing-masing, juga belajar bergotong royong.
Masisir mempunyai  beragam organisasi perempuan, baik yang dikelola di bawah lindungan KBRI atau independen. Di antaranya: Wihdah PPMI, Organisasi Ormas (Fatayat PCI-NU dan Aisiyah PCIM), organisasi  keputrian tiap daerah, organisasi perempuan alumni almamater pesantren. Banyak wadah organisasi perempuan tapi hanya beberapa individu yang aktif. Salah satu alasan tersebut yaitu masalah penempatan perempuan. Seperti ada perbedaan antara perempuan yang tinggal di asrama dengan di luar asrama. Maka anak asrama yang aktifis tentu merasa sedih, bila kesempatan aktifitas di luar belum selesai karena jadwal masuk asrama di malam hari terasa singkat. Namun tinggal di luar asrama juga bukan berarti menjanjikan keaktifan, karena tidak sedikit yang ternyata lebih memilih diam di dalam kamar. Demikian juga bagi yang tinggal di asrama, ternyata banyak yang hanya keluar asrama karena acara-acara non-keilmuan saja, seperti tasyakuran, ulang tahun, musa’adah, wada’an, dan yang semacamnya. Ini sangat disayangkan. Sebagaimana laki-laki, perempuan juga memiliki cita-cita. Namun seringkali apa yang dikerjakan perempuan hanya begitu-begitu saja, tidak menambah ilmu pengetahuan sama sekali.
Penulis menyimpulkan beberapa problem perempuan Masisir, yang pertama; daya pikir. Misal banyak  organisasi perempuan yang belum mampu mengkonsep dari hasil otak perempuan sendiri. Buktinya, berbagai program kegiatan, belum berani melakukan inovasi-inovasi segar. Pada akhirnya program kerja yang seharusnya dimiliki perempuan, masih ada campur tangan lelaki. Contoh lain, seminar atau kajian umum yang dihadiri laki-laki dan perempuan. Di saat sesi pertanyaan dibuka, bisa dipastikan bahwa perempuan tidak berani mengacungkan tangan.
Masalah kedua yaitu semangat berkarya. Mengingat memori masa silam, pada tahun sekitar 2000 hingga 2005-an, penulis banyak melihat geliat Masisir perempuan sangat agresif dengan aktif berperan, baik dari akademis hingga aktifis yang berkarya melalui bakat masing-masing. Misal saja Ika Yunia Fauzia, yang belajar menulis terus-menerus dan  membuat karya novel di Masisir, hingga kumpulan cerpennya pernah termuat di majalah Indonesia. Tidak hanya itu, ada juga Fatimah Zahra, seorang novelis juga. Pada tahun belakangan, ada juga beberapa buku karya perempuan, seperti Nihayatul Husna dan Mayadah. Namun disayangkan, untuk karya dalam bidang non-fiksi belum pernah ada. Pada tahun-tahun itu, jumlah aktifis perempuan yang aktif di bidang kajian yang menghasilkan karya tulis ilmiah dalam bentuk kumpulan makalah terbilang cukup banyak, dan itu berbeda dengan sekarang.
Masalah ketiga adalah komunikasi. Banyak perkembangan tekhnologi komunikasi menyuguhkan kemudahan akses di jejaring sosial, seperti Tweeter, Facebook, Blogger, Whats Up. Tapi sayang sekali, berbagai fasilitas tersebut belum teroptimalkan fungsi dan kegunaannya dengan lebih bermanfaat. Sebaliknya, masih sekedar digunakan untuk curhat, narsis, tempat memajang berbagai foto, yang pada akhirnya kehilangan visi-misi untuk maju.
Adapun solusi yang penulis tawarkan; Pertama, selalu berpikir dan resah atas apa yang terjadi dari diri masing-masing. Setiap hari jika tidak melakukan lebih kebaikan dan menghasilkan sesuatu, maka jangan pernah berharap maju dan bisa. Maju di sini adalah mampu menyatukan semua identitas perempuan sebagai anak, istri dan sebagai bagian dari masyarakat. Bahkan menikah, bukan satu identitas yang wajib disesali dan dikutuk, yang karenanya sering dijadikan alasan untuk mengesampingkan cita-cita. Penulis sangat terinspirasi dengan idealisme Tolstoy, seorang filusuf Rusia. Baginya, menikah itu bukan tujuan akhir, tetapi sebagai perantara untuk mewujudkan cita-cita. Di sini menikah sama saja dengan mengayuh roda kehidupan alam, yang menghasilkan pengetahuan, pengalaman, etika dan nilai moralitas, sebagai jembatan yang mengantarkan keberlangsungan hidup yang harmonis. Kedua, kekayaan membaca, merenungkan hasil baca, juga menginterpretasikan apa yang dibaca baik dalam bentuk tulis atau lisan. Sebagaimana dalam ayat al-Quran pertama yang diturunkan adalah Iqro’. Karena membaca dapat menuntun seseorang untuk megetahui sesuatu yang belum diketahui. Setelah membaca, tentu memerlukan tindak lanjut. Karena jika kita hanya berpusat pada membaca tanpa tindak lanjut yang jelas, maka akan lupa dengan apa yang didapat, dan akhirnya tidak banyak karya perempuan yang terlihat. Marilah kita memulai untuk ibda’ dan ibda’. Ketiga, mengesampingkan fitrah perempuan yang individualis, narsisis, gengsi dan terkesan manja. Sikap-sikap demikian hanya akan  menjadi kuman yang sebaiknya disingkirkan. Keempat, perempuan mesti berani. Malu adalah hal penting yang perlu dimiliki perempuan, tapi malu dalam hal mengembangkan diri adalah malu yang tidak bermanfaat.  
Perempuan harus memperjuangkan dirinya sendiri, dan harus berhenti menggantungkan diri terhadap perjuangan laki-laki. Teringat banyak perempuan termarginalkan akibat peran domestik dan sedikit potret perempuan yang eksis di publik. Seperti keresahan Nawal dalam “Perempuan di bawah Titik Nol” yang menyatakan bahwa  mengapa laki-laki saja yang dikenal dan terdokumentasi sebagai pejuang perempuan, seperti; Rifaat Tahtawi, Qosim Amin, Jamaluddin al Afghani dll? Padahal masih banyak lebih baik dari perempuan sendiri, seperti Huda Sya’rawi, Aisyah Taimura, Aminah Wadud, Mey Ziadah dll.
Berhubung memperingati hari idul fitri, mari kita mensucikan diri dan menjernihkan problematika perempuan. Seyogyanya kita segera menyadari atas berbagai kritikan yang selama ini ditujukan terhadap perempuan. Sekarang kita jadi malu, sebagai perempuan yang selama ini banyak diperbincangkan, malah diam begitu saja. Rasa-rasanya ingin bangkit seketika, kala menghayati pemikiran RA. Kartini bahwa dalam memperjuangkan harkat dan martabat perempuan, “Memang suatu pekerjaan yang seolah-olah tak mungkin dapat dikerjakan. Tapi, siapa tidak berani, tak akan menang. Ayo maju! Bertekad saja untuk mencoba semua! Siapa nekad, dia mendapat tiga perempat dunia!”, demikian tulis Kartini penuh semangat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar