Kamis, 16 Agustus 2012

Perempuan: Kunci Bias Gender Dalam tantangan Sosial-Budaya dan Agama Oleh Mei Rahmawati

Ada setetes embun pagi yang ingin Dewi rengkuh. Kabut pagi membawa pagi baru untuknya. Siulan burung pertanda ada ketentraman. Huuuh, kiranya aku harus bangkit dari permasalahan ini, hmm aku sedikit lega bisa menghirup kembali udara pagi yang lama terkurung dalam angan, pikirnya. Sel jeruji cukup membuatku pasrah akan masa lalu, dimana suami dan anak-anakku jauh dari diriku. Aku harus bangkit, kembali menggerutu.

Dewi, seorang perempuan karier yang terjerat korupsi dan rumahtangganya cukup rumit. Sang suami terjebak dunia malam bersama para gadis kota dan sang anak-anak lepas dari kasih Dewidan suami. Bisa dibilang kaya dan tercukupi. Semua kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier cukup di pandang depan mata. Dahulu, atap rumah sesek menjadi saksi atas ketangguhan rumahtangganya, ditemani gerabah muda dan alas daun kelapa. Tapi, hal itu cukup berlangsung beberapa tahun silam, kini menjadi istana rapuh.

Orang-orang sekitar rumah mudah sekali laku nilai, tak perlu berbisik lagi untuk menyimpulkan apa yang terjadi dalam gedung indah milik Dewi dan keluarga. Serentak kaget, ketika tiap malam, ada bunyi geretan garasi mobil milik Dewi terasa keras. Dan suara riuh setelah lelaki itu masuk dalam rumahnya, anak-anak kecil ikut bertandang tangis. Tetangga merasa rikuh bermain di istananya, tahu sekali jika Dewi melakukan hal haram tersebut.

Keesokan harinya, ada banyak polisi menggeret tangan dewi dan suami dengan sejumlah borgol mengenai tangan mereka, beberapa furniture rumah disabotase oleh aparat keamanan, dan merka menemukan obat eksetasi ada dalam gudang rumah, taukah siapa pemilik barang tersebut? Suami menjadi tersangka.
Sekilas fenomena yang terjadi dalam kehidupan Dewi belum cukup menjadi sampel dalam realita kehidupan. Ada problem dari sekian problem yang wajib bahkan sudah tak wajib lagi dijumpai. Problem laku sosial masyarakat, rumah tangga, ekonomi, agama bahkan Negara pada umumnya.


Sebelum kita merambah pada tatanan sosial, kita wajib tahu siapakah, dimana, kapan dan bagaimana seyogyanya perempuan diakui ke-perempuan-nya?.

Dalam islam, perempuan dikategorikan makhluk yang bernama manusia kedua yang diciptakan oleh Tuhan dari tulang rusuk Adam sebagai peneman dan pendamping juga penyempurna keberlangsungan hidup alam menjadi sang khalifah di muka bumi.

Tapi, penulis hendak mengkritik apa yang belum tersirat disana, jika perempuan dihadapkan sebagai kategori kedua dalam penciptaanya. Kata penyempurna, dalam ilmu hermeunetik, sebagai nilai yang sekunder. Artinya, jika kehidupan lelaki menyandang nilai primer artinya sekunder biasa dinafikan eksintensialisnya. Khalifah di bumi, apakah benar yang dimaksud dalam al qur’an, kosakata kholifah fi al ‘ardhi cukup Adam saja (red: laki-laki)?. 

Sejarah islam mengagungkan reputasi perempuan, kita biasa meniliknya dalam teks kalam ilahi (Al qur’an), sejenak berfikir dan mengulas cerita perjalanan Rasul dan para sahabat perempuan berjihad  melawan orang kafir. Aisyah, istri Rasul, memimpin perang jamal bersama Abu Sufyan, menjadi Ummahat al Mukminin, dan penghafal hadis Rasul terbanyak di kalangan perempuan. Pasca Rasul wafat, hafsoh bintu umar, ikut andil dalam penyimpanan manuskrip al quran. Fatimah al Zahra, istri sayyidina Ali sekaligus putri Rasulullah.
 
Artinya, sejak wahyu dihadirkan dalam bentuk teks, konteks sudah ada jauh sebelum teks datang. Perempuan, potret sejarah gemilang yang dibawa oleh Rasul. Hal ini terbukti dalam hadis nabi. Datang seorang sahabat yang bertanya, wahai Rasullullah, di dunia ini siapa orang yang pertamakali aku bahagiakan, Rasulullah menjawab, ibu. Lalu siapa?. Jawab kembali, ibu, hingga 3kali berturut-turut.

Terbilang tiga kali dalam satu subyek yang sama dan dengan pertanyaan kondisi yang satu. Ada sebuah keromantisan teks dan diflurkan dalam bentuk dialek retorika. Kehendak Rasul menyatakan ibu sebagai inti disini, beliau menyegerakan supaya ada sebuah kejayaan umat islam yang gemilang dengan menumbuh bibitkan benih umat yang unggul, salah satunya adalah bumi ini milik wanita, karena dia satu dan depan yang menjadi kharisma kehidupan kelak. 

perempuan juga sumber keberlangsungan hidup. Matarantai reproduksi manusia tidak akan mampu hidup jika tidak ada perempuan. Dalam ilmu ushul fikh dan logika mantik, perempuan adalah ‘illat dan laki-laki adalah ma’lul. Proses tanazul membutuhkan  jami’ mani’, akan terputus dan mandeg, jika hanya ma’lul atau illat, bahkan tidak ada keduanya.  Sangat logis, perempuan sebab dan laki-laki penyebab ketika bersatu. Alam tidak akan terjadi jika laki-laki dan perempuan tidak menyatu, sehingga alam akan berlangsung. Jadi, perempuan sebab dan laki-laki penyebab sehingga alam berlangsung.  

Jika demikian, kapan perempuan sebagai perempuan? Maka, kita akan bisa menjawab dimana dan bagaimana perempuan ada?
.
Eksistensialisme perempuan berkarakter plural, baik yang terkotak dalam imajinasi maupun di ilustrasikan. Penulis belum mampu menghadirkan secara utuh makna perempuan secara linguistik. Kitacoba dari pengalaman membaca sejarah budaya dan seni.

Reputasi perempuan kompleks, dia tak sebatas bias dibaca sendiri dalam dirinya, atau dibaca orang lain, mungkin saja benda mati itu bias mensiratkan eksistensi perempuan. Lukisan Monalisa yang ditulis oleh Leonardo da Vinci, satu dari imajinasi dia untuk menumpahkan alam pikiran dia dalam bentuk kanvas yaitu berusaha menyuguhkan penuh karakter fisik wanita dari segala sisi pandang. Berambut panjang, muka yang begitu proposional dan gaya anteng Monalisa senyum lebar. Mengandung magnet siapa yang memandangnya.  

Sebagai seorang sufi dalam perjalanan spiritual yang sangat pribadi dan subyektif, Ibnu Arabi mengambil citra feminin dalam kesufiannya. Dia mengindrakan, seorang perempuan sangat penting baginya. Karena dalam diri perempuan, Sophia, Hikmat Ilahy mampu meninkarnasi dalam diri lelaki, walau hal ini sangat lebbay dalam maskulinitas, tapi upaya memasukkan dimensi perempuan sangat kuat dalam diri Tuhan untuk sampai pada cinta yang dalam padaNya. 

Dalam syair, penggunaan perempuan berkarakter metafora, misal, aku binatang jalang, dari kumpulan terbuang. Atau ketika kita mengkononotasikan perempuan sebagai mata bening, bibir ranum dan rambutnya menyibak dan melambai-lambai, kita pastikan daya imajinasi dari bahwa majas/perumpamaan tersebut ditujukan oleh makhluk bernama perempuan.

KONTRIBUSI PEREMPUAN DALAM TANTANGAN BUDAYA GLOBAL

Era globalisasi menyentuh dinding-dinding waktu, alam dan segala sendi kehidupan. Awalnya kita fikir hanya sebatas lingkaran ekonomi, pun kelas-kelas lahir akibat geram globalisasi. Sejenak menilik satu diantara dampak globalisasi yaitu menembus ruang budaya dan masyarakat sosial. Manusia dalam perjalanan evolusi hidup, tidak sadar apa yang berlaku. Sadar atau tidak, kita dihadapkan oleh satu keyakinan bahwa hidup harus dijalani. Maka tidak heran, manusia didorong oleh kemajuan materi, akhirnya menuhankan ekonomi yang berlangsung, manusia konsumerisme dan individualistik, sehingga pada akhirnya dia berusaha menempuh sepenuhnya bagaimanapun cara yang akan dicapainya hingga melintasi batas halal. 

Anda pasti ingat peristiwa turunnya presiden ke-2, Soeharto, pada tanggal 28 Mei 1998. Banyak sekali tragedi menimpa bangsa kita, penembakan tiga mahasiswaTrisakti atau dikenal tragedy Semanggi, jatuh tersangka di kalangan mahasiswa juga masyarakat dan penurunan tersebut, menggeser banyak nilai kurs rupiah dan jatuh sehingga krisis moneter menimpa negri kita, Indonesia.

Globalisasi menelurkan modernisasi. Modernisasi tidak mampu lepas dari kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan dan maha dinamika sosial yang melambung tinggi tingkat gengsi dan berkelas, hingga pada perjalanan waktu pergeseran kelas mengeras, kaya makin kaya, yang kurang makin fakir. 

Dalam dunia ekspor-import pun menyentuh bilateral dan multilateral Negara. Ekonomi Negara mengalami fluktuasi dadakan. Hendak kiranya kita wajib menekankan dahulu pentingnya apa prinsip dasar Negara, sehingga langkah yang diambil jauh dari kefatalan. 

Ekonomi pun mempengaruhi daya saing  kompetisi gaya hidup masyarakat. Misal satu komplek ada 10 rumah, satu diantaranya memakai hp Blackberry, kita pastikan satu bulan kedepan akan ada lebih dari 5 rumah yang mengikuti. Akhirnya mau tidak mau kondisi internal dahulu yang wajib diobati, satu tembakan yaitu dalam segi pendidikan.

Sangat tertarik dengan kebangkitan pemikiran yang terjadi di Yunani pada abad 6 SM, dua Negara Athena dan Romawi terjadi ketertindasan di bidang kebudayaan, sadar akhirnya apa yang terjadi, pada zaman tersebut, agama masih menjadi roda sosial perjalanan dua kota tersebut . 

Pertama, perempuan sebagai perempuan. Saya teringat tentang teori Arestoteles, dia beranggapan bahwa perempuan adalah setengah makhluk manusia dari lelaki. Phisikoanalisa perempuan sebagai makhluk yang sangat rawan cemburu, sedih dan putus asa, akibat yang timbul tidak sedikit perempuan mampu untuk mengatasi dirinya sendiri. Asumsi dan keyakinan ini mendasari subordinatif perempuan di kelas sosial, streotip perempuan di mata mungkin. 

Dia mengambil keputusansebagai wanita karier demi keberlangsungan hidup dan membantu suaminya. Dalam perkembangannya, mengalami sandungan batu dari suaminya, merasa cukup, si suami merasa hubungan biologis yang kurang akibat surutnya waktu. Dan tidak banyak waktu bersama anak-anaknya.

Phisikoanalisa yang dilahirkan Sigmund Freud, filosof asal perancis (1856-1920) menyatakan bahwa sejak lahir, perkembangan perempuan dan laki-laki sangat berbeda karena berdasar seksualitas. Teori semacam ini di sanggah oleh para feminis, karena terlalu memojokkan perempuan. Foesta (murid Emanuel Kant) filosof eksoteris scientis dan kosmologi berkebangsaan Jerman menegaskan dalam karyanya tentang filsafat nilai “argumentasi keilmuan” bahwa akal yang mampu mereproduksi sebuah aplikatif lebih unggul diatas rata-rata daripada akal yang hanya mampu mereproduksi sebuah argument.  

Perempuan tidak sepatutnya disalahkan dalam potret kisah Dewi. Dalam buku Arestoteles, “Ilmu Tobi’ah”, manusia terbentuk dari susunan unsur (a’rodh), yang menghasilkan keberadaannya kita pahami dari warna kulit, tinggi, berat badan dan postur tubuh, sedang secara dzatnya kita tidak mampu mengatakan secara utuh masuk dalam unsure (a’rodh), artinya apakah jika perempuan salah, bisa dikatakan ia sebagai makhluk individu yang dipengaruhi oleh unsure menghasikan gerakan dan diam. Bukan, menurut aresto, dzat itu belum tentu masuk semuanya dalam unsure, jika dewi berusaha mengkondisikan dirinya sebagai makhluk individu, maka itu bisa dibenarkan, dia salah mengambil sikap. 

Hal diatas beda pandang dengan ibnu maimun dan imam Juwainy, bahwa seluruh hasil implikasi jauhar (dzat) masuk dalam unsure (a’rodh) yang menghasilkan konklusi gerak fikir dan aplikatif. Artinya kesatuan jiwa adalah kesatuan dari logika dan fisik manusia. Jika dia seimbang, maka mendekati makna kebenaran. Usaha totalitas Dewi sebagai ibu dan wanita karier itu mendekati benar, karena dia tidak bisa dipandang sebelah mata sebatas seorang individu. Karena fungsi fisik bukan penentu keberadaan manusia dimana, namun fisik hanya mampu menempati ruang dan waktu dia ada. 

Dewi sebagai ibu rumah tangga, berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan upaya fungsionalitas yan ada pada dirinya. Dia tidak memandang dirinya sebagai  makhluk terbatas, hanya melakukan fitrah perempuan, tertradisi memasak, mencuci dan melahirkan. Teori fungsionalitas yang dibawa oleh Mail, ahli filsafat nilai asal Jerman, menganggap bahwa manusia akan mampu melakukan harmoni dan stabilitas sosialnya ketika logika dan kehendak bergerak, fungsi strukturalitas berlaku di masyarakat.

Perempuan memiliki cinta. Kuasa cinta seorang perempuan jami’ wa iftiroq (berbanding terbalik namun saling melengkapi dalam pandangan Hasan Hanafi yang mengamini alam pikiran Foesta, Kesadaran sifat cinta perempuan mampu dihadirkan dalam bentuk kasih dan perhatian bagi anak dan suami/keluarganya. Artinya, ada kepuasan yang dicapai perempuan  dalam menunaikan prioritas-prioritasnya sebagai seorang istri.
Kita cerna makna cinta. Cinta menurut Sigmund Freud adalah penyatuan dari pertautan logika dan watak. Mengapa watak? Karena watak kerap hubungannya dengan perasaan, hati, kasih saying atau sebaliknya. Sedangkan logika adalah  hasil daya pikir, daya gerak fungsi perangkat keras manusia dan jalan mengambil juga menyelesaikan suatu masalah. Artinya, cinta yang dianugerahi manusia terhadap sesame menghasilkan wangi positif. 

Misal saja, kita mencoba menjadi dokter phsikoanalisa dan fungsionalitas Dewi sebagai perempuan baik dan Dewi sebagai wanita jalang. Jiwa yang dibawa Dewi seperti diatas adalah cukup idealis sebagai sebgai seorang perempuan. Jalang adalah kata denotasi dari perempuan gundik, kupu-kupu malam yang singgah di rumah lain. Fungsi jiwa perempuan rentan mempunyai dua sifat berbanding terbalik. Ketika logika dan cinta tidak muncul, fungsional perempuan yang lembut dan mempunyai rasa malu hilang, akibatnya ada dampak negative sosial yang bias. Dia dikatakan belum mempunyai cinta. Misal dalam hal biologis, dalam syariat islam atau teologis lain mengajarkan bahwa, pemenuhan seksual perempuan bukan satu-satunya jalan mencapai cinta. Tapi apresiai cintanya pada lelaki timbul dari dia mengekspresikannya dalam kelembutan perempuan, karena perempuan adalah jalan bukan tujuan akhir dari cita-cita berumah tangga dan bukan kebutuhan akhir perempuan. Tentunya dengan jalan yang digariskan Tuhan melalui nikah halal. 

Nikah adalah pondasi asas dasar yang menyatukan dua insan, dua jenis kelamin berbeda dan dua karakter yang tidak sama. Demikian ini sama halnya satu dan yang lainnya melengkapi, menjadikan sesuatu yang beda menjadi bibit yang sempurna karena saling memenuhi kebutuhan. Makatidak mutlak, ketika nikah hanya diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan seksual biologis antar manusia, karena pada akhirnya manusia dihadapkan dengan perilaku sosial cukup rumit.

Married, dalam pandangan Tolstoy adalah pengayuh roda kehidupan alam, kode etik dan nilai moralitas yang dicapai mengantarkan keberlangsungan hidup yang harmonis. 

Di Negara China misalkan, pada abad pertengahan akhir ke-20an, mencapai tingkat kependudukan tertinggi sebelum Unisoviet dan Indonesia, dia termasuk dalam nominal Negara maju dan tingkat kesadaran ekonomi yang tinggi. Pada waktunya, KB tanpa digalakkan, bangsanya menggerakkan sistem perbaikan intern, demi memudahkan menuju perbaikan di luar.

Kita melihat tradisi rumah tangga/keluarga Jepang di pagi hari dalam film-film yang kita jumpai, mereka bangun pagi, olahraga menjaga stamina tubuh dan memakan makanan bergizi, pola hidup di negara maju sangat teratur, tingkat kesadaran gerak berpikir dan kepekaannya otomatik. 

Tantangan sosial budaya di negara maju tidak lagi membicarakan masalah, tapi menyelesaikan dan menggerakkan solusi masalah. Banyak negara maju mengadakan transisi negara ke negara tetangga melawan kemalasan, perempuan sangat giat melakukan dagang door to door, siang malam tiada henti.

Mengingat kembali tulisan Nawal dalam buku “Memoar Nawal Sadawi”, hasil perjalanan konsulat seminar beliau di Beijing, bahwa simbol dan icon negara maju diatas rata-rata 75% menjalankan sitim negara kapitalis gotong royong, semua lini kehidupan sosial wajib harmoni, perempuan-perempuan kecil sudah mempunyai kartu dagang untuk sabuk jaminan hidup dagang, bukan ada sabotase atau eksploitasi, tetapi tingkat kesadaran kemandirian sudah di tanam sejak dini.  

Gerakan gender di negara maju sudah tidak perlu diperbincangkan, yang menjadi problem masih diperbincangkan di batas seminar dalam lingkup negara berkembang atau biasa disebut negara ketiga. Negara ketiga mempunyai karkter moneter, tingkat ekonomi yang tidak meratya dan kehidupan sosial budaya yang menurun. 

Bisa dikatakan 56% di negara berkembang mengalami tingkat kecenderungan menafikan perempuan sektor luar. Dampak yang sangat disorot adalah perempuan hanya sebatas ibu rumah tangga dan makhluk pasif.
Kontrak sosial masyarakat tingkat rendah berakibat fatal memasuki ruang dan wilayah otonom, seperti dunia pendidikan anak, perkembangan kesehatan dan tingkat daya kreatifitas. Dan pada akhirnya, peremupuan yang kurang mampu dalam keluarganya, menjadi korban eksploitasi jual diri, masuk dugem dan protitusi demi menahan dan berlangsungnya hidup. Keangkuhan remaja putri makin merajalela, maka tak kaget jika budaya barat making love luar nikah menjadi titik contoh remaja putri. 

Dalam seminar komisi pemberdayaan perempuan bulan Februari 2012 kemaren, menghasilkan data statistik perempuan Indonesia diatas rata-rata 68 % dikatakan tidak perawan lagi. Sehingga sembari menilik UU anti pornografi dan perlindungan hak dan kewajiban orangtua terhadap anaknya,  dihidupkan kembali yang sempat mati di lumbung padi.

Lalu apa solusi perempuan dalam tantangan rumah tangga dan sosial budaya?

Perempuan adalah angel dari semua lini kehidupan,  kunci untuk membuka pintu guna keluar dari dalam rumah yang berisi aneka warna tujuan dimana kaki melangkah. Perempuan dalam kacamata islam adalah tiang agama dan nasional. Dibelakang Lelaki sukses, ada perempuan tangguh dan kokoh. Artinya, madrasah kehidupan pertama kali adalah rumah, sang pengajar adalah ibu. Perangkat sosial masyarakat merupakan perangkat perang untuk mengatasi musuh dari luar. Dalam dunia pendidikan, ada 3 pilar pendidikan yang diusung oleh KiHajar Dewantara. Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani. 

Menjadi perempuan bukan suatu hal yang mudah, disamping eksis dalam intern rumahtangga sebagai seorang istri dan ibu, dia juga peran andil dalam lingkup kurikulum. Paradigma dan dinamika globalisasi membawa arti penting sekaligus kelam. Penting, perempuan berani menyingkirkan budaya patriarkhi, menghapus subordinatif dan streotip budaya. Maka, keberadaan perempuan sangat penting sebagai guru di dalam dan di luar. 

Kedua, upaya pertahanan ekonomi, dalam mengatasi masalah moneter dan kapitalisme makin runyam, maka penuhanan terhadap materialis, shopaholich dan broken home akibat kekerasan Rumah Tangga, membawa dampak nilai tak positif bagi perempuan. Stabilitas perempuan wajib diperhatikan. Misal dalam kehidupan masyarakat mengdakan UKD, koperasi ibu-ibu, mengadakan usaha kreatifitas dan bisnis dengan modal sekecil-kecilnya. Demi mengatasi dan mengentaskan kelas-kelas bawah dan beruang sosialis menentang kelas tertindas.

Pernah sang penulis mengadakan sedikit bincang santai dengan TKW Indonesia di negara arab,  banyak korban penindasan dan penipuan yang dilakukan majikan tempat negara orang kerja, mereka bahkan tidak dibayar selama 2 bulan berturut-turut, mau pulang tidak ada uang, mau kabur, sedangkan tidak ada pemerintah atau pihak kedutaan negara asal yang melindunginya. Bahkan sangat naifnya, pada tahun 2011, satu dari TKW-TKW mengalami frustasi membunuh majikan, akibat rasa geram yang melanda tersangka, majikan sebelumnya tidak memberi haknya. Kita yakin, di sana harus lebih dikencangkan lagi komunikatif antar negara dan keaktifan TKW untuk melaporkan diri sebelum keluar negri.

Perempuan, sebagian besar menjadi buruh RT, kelas-kelas buruh, kasta rendah hendaknya diperjuangkan, mengaktifkan dan peduli pada tujuan awal ILO yaitu instansi lembaga buruh di bawah lindungan PBB. Atau mengadakan konsesus jiwa dan analisa finansial dari pihak yang wajib. Jika ekonomi teratur maka menuju gerbang sosial dan pendidikan cukup mampu membuka mata. Juga beberapa lembaga yang mengurusi maslah keadilan Gender, mengawasi beberadaan pekerja migran dan mengadakan seminar terbuka seperti Konvensi Migran yang dilakukan KOMNAS pada tahun 1991 lalu.

Ketiga, dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang dicapai seorang perempuan wajib dan perlu bagi dirinya dahulu sebagai fungsi contoh dan cerminan bagi anak. Seminar terbuka, pengajian, bahkan yang kita lihat dalam dunia pendidikan, adalah di sekolah TK, tidak ada guru laki-laki mengurusi anak kecil, adapun perempuan, disini letak reputasi perempuan bernilai plus.
Hingga pada akhirnya, perempuan mengalami banyak kesejarahan mental dibanding lelaki. Menurut analisa ini disebut gender. Corak gender mengalami perluasan amelioratif. Perempuan sebagai kunci dari reproduksi sosial, tenaga kerja dan biologis. 

PEREMPUAN DALAM MENGHADAPI TANTANGAN AGAMA

Sebelum islam masuk, perempuan hidup dalam tekanan dan sistem patriarki yang berkelanjutan. Diri indentitas perempuan belum sepenuhnya menjadi manusia yang dimanusiakan. Dalam agama budha, menurut filsafat confuse, perempuan tidak punya hak memerintah dan melarang, dia hanya berada dalam rumah dan mengurung diri.Jiwa perempuan dianggap suatu pengorbanan dan terjadi hanya sekali seumur hidup yaitu peristiwa ngaben, pembakaran mayat sebagai simbol jiwa dan raga keabadian cintanya terhadap suami stelah ditinggal mati suaminya. 

Dalam agama kristen, mengenal biarawati sebagai titisan darah Maryam perawan. Subordinasi perempuan dengan kacamata seksualitas, mengantar perempuan tidak yakin akan eksistensi dia sebagai wanita biasa yang butuh akan kebutuhan biologis, perempuan biarawati tidak diperkenankan menikah sebagai wujud kontruk biologis, mempunyai anak dan berdiam diri di gereja melayani jemaat gembala tuhan.

Di masa Romawi, bangsa tersebut mempunyai filsafat perempuan bahwa dia tidak mempunyai jiwa yang mengantarkan pada nilai hakiki, sehingga jiwanya hanya berupa jiwa kotor dan syetan, tempat para raja melangsungkan seksualitas dan menjadi selir layaknya budak, sehingga dia tidak mempunyai kebebasan hidup dan pendapat, tugasnya hanya patuh pada kerajaan dan wajib mengunci rapat mulutnya. 

Orang filosof hermeunetik mencomot beberapa ayat al quran sebagai kajian quranic studies yang belum sempurna. Ada beberapa ayat yang dinilai ayat misoginis. Pada akhirnya reinterpretasi perempuan islam dianggap kurang mapan dan di bawah tekanan hukum islam. Dalam kajian bible, mereka memaknai bahwa perempuan Haid dalam islam itu bersifat najis, terbukti dari dilarang masuk mesjid, dilarang bersetubuh dan dilarang melakukan ibadah sakral. Terdapat ayat pelarangan nikah antar agama, sehingga kebebasan produktifitas makin sulit berkembang di dunia.

Ada beberapa karya yang membuat para pemikir dan penggerak dari kalangan islam mengatasi beberapa problem dalam. Misal yang momumental adalah 3 permasalahan, hijab, poligami dan talak. Permasalahan pelik yang dihadapi perempuan hingga kini. Sehingga ada beberapa kelompok mengatasnamakan agama sebagai partai politik dan syariat lahir dari budaya.

Sehingga ada beberapa keretakan umat islam disebabkan perbedaan pandang dan idealisme, lahir suatu gerakan radikalisme Vs liberalism juga perang antar agama.

Pada beberapa gabungan organisasi perempuan baik yang bersifat hirarki maupun jurnalistik, setidaknya memeberi penekanan kembali, bahwa perempuan bukan makhluk yang tereksploitasi, dia layaknya laki-laki yang mempunyai kebebasan berfikir dan berkehendak. Yang kedua, mengadakan pengajian atau diskusi intern dan non intern antar umat beragama. Ketiga, menggalakkan dakwah secara halus dan familiar melalui baik tulisan visual maupun audio dan audio visual, lewat televisi, internet maupun perkumpulan perempuan-perempuan membahas suatu masalah. Seperti membuat perkumupal sesama Ormas baik kalangan islam atau non islam.

PENUTUP

Alhamdulillah, sekelumit makalah yang sedikit memberi contoh dan uraian, semoga kkita sebagai perempuan tau akan fitrah dan pengembangan kemampuan. Teringat argumen  feminis Mesir Nawal Sadawi bahwa kunci dari kesuksesan dunia adalah Ibda’ yaitu berkarya, maka bukan hal mustahil bagi perempuan untuk memulai sesuat yang baru, karena disana ada filsafat kehidupan yaitu bebas menuangkan kemampuan berfikir, berpendapat, bergerak, hidup dan beropini. Maka, selamat berkarya!.

1 komentar:

  1. syukron
    insyaAllah banyak memberi inspirasi kita perempuan tuk berperan lebih baik

    BalasHapus