Kamis, 09 Agustus 2012

Islam Radikal: Kian Lebay di Tengah Bangsa

Ada sekolompok militan yang menamakan dirinya sebagai pahlawan jihad, pembela anti-liberal dan kapitalis. Penulis semakin heran dan bertanya, di negara kita heterogen, negara yang berkembang banyak sekali  problemitas  sosial, ekonomi dan budaya. Paceklik dari sosial budaya ini membawa pada tingkat ide teologi masyarakat. Tidak sebatas masyarakat awwam terkena arus dehidrasi agama, sehingga  manut-manutan, pun demikian
kalangan atas, para pejabat dan sejumlah aktifis kajian pemuda. Ditilik dari segi tingkatan pengetahuan manusia Indonesia tidak seimbang, Banyak sekali orang-orang tua yang belum memahami makna islam yang plural, wajar jika mereka hanya tau sisi praktis beragama degan solat, zakat dan puasa. Demikian para pemuda dalam kajian, keterpengaruhan bacaan dan idealisme beragama sangaat komprehensif. Ada juga dari kalangan pejabat yang banyak tau perpolitikan dan keilmuan karena notabenenya sarjanawan, justeru menjadi kalangan politik ideologis islam. Nah, sangat heran, sejak kapan baginda nabi menganjurkan ajaran islamnya untuk dikomersilkan sebagai kursi parlemen? Sejak kapan islam sebagai rahmatan lil’alamin direnovasi sebagai agama radikal untuk menganut sebagai kader anak jaman? Apakah yang dikatakan mereka jihad yang demikian?
Menilik sekelumit ajaran wahabi yang digemborkan penggagasnya yaitu Ahmad bin A.Wahhab. Wahabi yang bermisi ingin mempurifikasi islam secara mendalam, fungsionalitas ayat jihad sebagai upaya untuk menyelamatkan kafialh islam dari rongrongan Amerika dn Israel. Interpretasi jihad sebagai upaya pembelaan diri dengan korban bom yang melukai dan menewaskan beribu umat di hotel Mariot, juga kawasan Bali. Atau dinamakan jihad jika islam radikalisme memaksa manusia kembali ke jalan tanpa melihat dan meraba makna la ikroha fiddin?.
Penulis sangat prihatin atas kerja keras FPI, membubarkan tempat protutisi di bilangan dolly, Surabaya. Sangat amburadul dan terkesan ricuh berita itu, bagaimana mungkin seragam hitam  bercadar muka tertutup, datang tiba-tiba dengan memukul dan mengobrak-abrik tempat, bisa diterima di kalangan orang buta agama dan apa itu islam. Sungguh sangat tidak rasional bukan, ketika kita mencampur reaksi yang tak senyawa bagai campur air dengan minyak.
Ditilik dari korelasi wahabi, LDI, HTI, FPI dan PKS, saya tak pandang bulu siapa mereka. Nampak sangat tegas, bahwa islam fundamentalism radikal berideologis secara holistik, ingin menjadikan sebuah tatanan negara sebagai negara khilafah berdasar alqur’an dan hadis rasul. Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah relevan jika Indonesia dijadikan negara khilafah, sedang di Indonesia beragam agama? Nampaknya sangat ceroboh dan tak tepat. Dimana mereka mengambil ayat La Ikroha Fiddin? Tidak ada satu paksaan dalam beragama (islam). Islam radikal dengan background tekstualitas dalam memaknai ayat, membawa identitas bias sosialisasi agama dan budaya. Hal ini menimbulkan kerancuan legitimasi masyarakat ke bawah. Saya tak hendak menyatakan bahwa masyarakatlah korban dari islam radikalis. Api, lebih pada pihak bersangkutan, mengapa mereka senonoh menyatakan, bahwa islam di Indonesia sangat amburadul, maka saya akan mendamaikannya. Kenyataan, bahwa dampak dari adanya FPI di Indonesia, HT di Yaman dan Syiria, Wahabi sebagai kakek moyang dari mereka, juga PKS politik berideologi Syariah, justru membawa paradigma nilai negatif. Lalu apakah mereka tidak mengaca ulang tentang sejarah pancasila sebagai agama toleransi pada sila pertama, apakah mereka tidak merekonstruksi dan interpretasi makna jihad yang bios mereka lakukan. Sangat tidak logis, jika pada tahun 2008, tepat peringatan proklamasi di tugu monas, mereka mengharamkan semerta-merta penghormatan sang saka merah putih. Komplikasi, ya komplikasi, sakit yang diderita oleh golongan ini. Tidak perlu kita mencari dan memanggil dokter untuk mendiagnosa, karena makna terorisme sudah menjadi tontonan wayang gratis dan mencerabut akar-akar budaya. Maka tidak salah dan tegas, warga dayak tidak mau dijadikan status otonom daerah kuasa FPI, yang baru 1bulan ini dikabarkan di Indonesia.
Jika disimpulkan, perang gerilya yang ditabuh mengalami holistik pemikiran. Yang pertama: purifikasi islam secara radikal; kedua: mencerca nasionalis bertindak  menjadikan negara khilafah, wilayatullah, dan terakhir adalah ekslusif dan ekstrim dalam hal pemikiran.
Dalam basis islam radikal sendiri, imanen akar pemikirannya, berpacu pada aliran yang dianut, dia berbasis pada Ibnu Taimiyyah. Revolusioner pada masanya, Mamalik, kerajaan yang terletak di daerah Abbasiyah, negara Timteng Arab Mesir, membawa dampak tampuk kuasanya. Dikenal sebagai pahlawan dan pemikir ulung dengan penolakan dia terhadap madzhab kalam Asy’ari dan menolak pengajaran empat madzhab.
Banyak sekali penerbitan buku berbau aswaja dan Asy’ariyah diblokade di beberapa negara Arab terutama di Makkah, banyak halaqoh kajian lepas disekat dan diusir.sikap ekstrim dan ekslusif sama halnya menyekat daya keterbukaan bangsa dalam mengembangkan intelektualitas, dan hanya tau beberapa wacana yang diajarkan kelompok mlitannya.
Secara hukum madzhab, islam radikalisme tidak menerima ajaran empat madzhab, Maliki, Hambali, Syafii dan Hanafi. Hingga pada kuasa hukum ijtihad, dia membuat sendiri.
Jika kita terapkan di indonesia dan negara islam lainnya, tidak mungkin kita meninggalkan madzhab dalam keseharian untuk ibadah dan bermuamalah. Artinya islam radikalis no-madzhab. Hal ini meresahkan umat islam dalam beragama dan berpijak penuh. Nyaris gagal dan dibuat ribut, hingga timbul pertanyaan di masyarakat kita. Dalam buku klasik, Sughro karangan imam Sanusi, tertulis, bahwa imam dan ulama islam bukan disebut panutan jika mencecar ulama empat madzhab. Sangat miris, jika umat islam di negara kita hanya sebagai batu loncatan bagi gerakan neo- fundamentalisme. Yang dikatakan Ayoubi dalam bukunya politik islam: agama dan politik dalam islam, bahwa neo-fundamentalisme tidak berhasil dalam politik islamnya yang belum bisa mengubah landscape politik Indonesia.
Lalu bagaimana tindak resolving problem yang kian menggigit?. Masyarakat Indonesia tampak rindu akan kelembutan islam seperti bayangan dan harapan islam sendiri. Secara konteks, islam tidak cukup sekedar penggalian teks secara plur tapi bagaimana islam yang dijanjikan tuhan sebagai cita-cita rahmatan lil’alamin dari baginda rasul. Islam puritan dan radikalis tentunya momok terbesar bagi masyarakat, karena hal demikian lebih melampaui rasionalitas dan sakit yang tak kunjung sembuh.
Kiranya, para pemimpin, ulama dan sarjanawan perlu mendialektikkan segera usaha pemberantasan islam radikal yang menelusuri sendi-sendi kompleksitas pemikiran. Supaya tidak serta-merta menilai secara mentah dari tujuan islam radikalisme. Seluruh lapisan hendaknya aktif dalam dinamika peleburan dialog antar aliran.
Pertama, yang mungkin dilakukan adalah, perubahan secara kultur, misalkan mengaktifkan kembali kajian dan pengajaran juga pengenalan berbau Aswaja yang tampaknya baru-baru ini luntur.
Kedua, mengoptimalkan kader pemuda untuk ikut berkecimpung dalam legitimasi pemikiran yang beraneka ragam, sehingga pacuan tidak sebatas apa yang didapat.
Ketiga, mengadakan sarahsehan dan dialog antar aliran melibatkan seluruh elemen ormas yang mewadahi islam secara relevan.
Keempat, meningkatkan rasa nasionalisme dengan membangun kembali apa makna nasionalisme dan mengenalkan apa itu Negara khilafah yang menjadi impian kaum radikal. Juga, membangkitkan semngat pancasila dan UUD 1945 berbasis nasionalis.
Cukup sekian penulis memberikan sekelumit ingatan tentang islam radikalis dan teroris, kiranya sebagai umat islam yang berhaluan Aswaja dan bermadzhab, kita bisa mengaca diri atas refleksi sejarah pemikiran islam toleran yang diajarkan ulama kita dahulu dan islam sebagai rahmatan lil’alamin. Wallahua’lam bisshowab.


[i] Penulis adalah Mahasiswi Akidah dan Filsafat, Univ al Azhar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar