Ada
sekolompok militan yang menamakan dirinya sebagai pahlawan jihad, pembela
anti-liberal dan kapitalis. Penulis semakin heran dan bertanya, di negara kita
heterogen, negara yang berkembang banyak sekali
problemitas sosial, ekonomi dan
budaya. Paceklik dari sosial budaya ini membawa pada tingkat ide teologi
masyarakat. Tidak sebatas masyarakat awwam terkena arus dehidrasi agama,
sehingga manut-manutan, pun demikian
kalangan atas, para pejabat dan sejumlah aktifis kajian pemuda. Ditilik dari
segi tingkatan pengetahuan manusia Indonesia tidak seimbang, Banyak sekali
orang-orang tua yang belum memahami makna islam yang plural, wajar jika mereka
hanya tau sisi praktis beragama degan solat, zakat dan puasa. Demikian para
pemuda dalam kajian, keterpengaruhan bacaan dan idealisme beragama sangaat komprehensif.
Ada juga dari kalangan pejabat yang banyak tau perpolitikan dan keilmuan karena
notabenenya sarjanawan, justeru menjadi kalangan politik ideologis islam. Nah,
sangat heran, sejak kapan baginda nabi menganjurkan ajaran islamnya untuk
dikomersilkan sebagai kursi parlemen? Sejak kapan islam sebagai rahmatan
lil’alamin direnovasi sebagai agama radikal untuk menganut sebagai kader
anak jaman? Apakah yang dikatakan mereka jihad yang demikian?
Menilik sekelumit ajaran
wahabi yang digemborkan penggagasnya yaitu Ahmad bin A.Wahhab. Wahabi yang
bermisi ingin mempurifikasi islam secara mendalam, fungsionalitas ayat jihad
sebagai upaya untuk menyelamatkan kafialh islam dari rongrongan Amerika dn Israel.
Interpretasi jihad sebagai upaya pembelaan diri dengan korban bom yang melukai
dan menewaskan beribu umat di hotel Mariot, juga kawasan Bali. Atau dinamakan
jihad jika islam radikalisme memaksa manusia kembali ke jalan tanpa melihat dan
meraba makna la ikroha fiddin?.
Penulis sangat prihatin
atas kerja keras FPI, membubarkan tempat protutisi di bilangan dolly, Surabaya.
Sangat amburadul dan terkesan ricuh berita itu, bagaimana mungkin seragam hitam
bercadar muka tertutup, datang tiba-tiba
dengan memukul dan mengobrak-abrik tempat, bisa diterima di kalangan orang buta
agama dan apa itu islam. Sungguh sangat tidak rasional bukan, ketika kita
mencampur reaksi yang tak senyawa bagai campur air dengan minyak.
Ditilik dari korelasi
wahabi, LDI, HTI, FPI dan PKS, saya tak pandang bulu siapa mereka. Nampak
sangat tegas, bahwa islam fundamentalism radikal berideologis secara holistik,
ingin menjadikan sebuah tatanan negara sebagai negara khilafah berdasar
alqur’an dan hadis rasul. Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah relevan jika
Indonesia dijadikan negara khilafah, sedang di Indonesia beragam agama?
Nampaknya sangat ceroboh dan tak tepat. Dimana mereka mengambil ayat La Ikroha
Fiddin? Tidak ada satu paksaan dalam beragama (islam). Islam radikal dengan
background tekstualitas dalam memaknai ayat, membawa identitas bias sosialisasi
agama dan budaya. Hal ini menimbulkan kerancuan legitimasi masyarakat ke bawah.
Saya tak hendak menyatakan bahwa masyarakatlah korban dari islam radikalis.
Api, lebih pada pihak bersangkutan, mengapa mereka senonoh menyatakan, bahwa
islam di Indonesia sangat amburadul, maka saya akan mendamaikannya. Kenyataan,
bahwa dampak dari adanya FPI di Indonesia, HT di Yaman dan Syiria, Wahabi
sebagai kakek moyang dari mereka, juga PKS politik berideologi Syariah, justru
membawa paradigma nilai negatif. Lalu apakah mereka tidak mengaca ulang tentang
sejarah pancasila sebagai agama toleransi pada sila pertama, apakah mereka
tidak merekonstruksi dan interpretasi makna jihad yang bios mereka lakukan.
Sangat tidak logis, jika pada tahun 2008, tepat peringatan proklamasi di tugu
monas, mereka mengharamkan semerta-merta penghormatan sang saka merah putih.
Komplikasi, ya komplikasi, sakit yang diderita oleh golongan ini. Tidak perlu
kita mencari dan memanggil dokter untuk mendiagnosa, karena makna terorisme sudah
menjadi tontonan wayang gratis dan mencerabut akar-akar budaya. Maka tidak
salah dan tegas, warga dayak tidak mau dijadikan status otonom daerah kuasa
FPI, yang baru 1bulan ini dikabarkan di Indonesia.
Jika disimpulkan, perang
gerilya yang ditabuh mengalami holistik pemikiran. Yang pertama: purifikasi
islam secara radikal; kedua: mencerca nasionalis bertindak menjadikan negara khilafah, wilayatullah, dan
terakhir adalah ekslusif dan ekstrim dalam hal pemikiran.
Dalam basis islam radikal
sendiri, imanen akar pemikirannya, berpacu pada aliran yang dianut, dia
berbasis pada Ibnu Taimiyyah. Revolusioner pada masanya, Mamalik, kerajaan yang
terletak di daerah Abbasiyah, negara Timteng Arab Mesir, membawa dampak tampuk
kuasanya. Dikenal sebagai pahlawan dan pemikir ulung dengan penolakan dia
terhadap madzhab kalam Asy’ari dan menolak pengajaran empat madzhab.
Banyak sekali penerbitan
buku berbau aswaja dan Asy’ariyah diblokade di beberapa negara Arab terutama di
Makkah, banyak halaqoh kajian lepas disekat dan diusir.sikap ekstrim dan
ekslusif sama halnya menyekat daya keterbukaan bangsa dalam mengembangkan
intelektualitas, dan hanya tau beberapa wacana yang diajarkan kelompok
mlitannya.
Secara hukum madzhab,
islam radikalisme tidak menerima ajaran empat madzhab, Maliki, Hambali, Syafii
dan Hanafi. Hingga pada kuasa hukum ijtihad, dia membuat sendiri.
Jika kita terapkan di
indonesia dan negara islam lainnya, tidak mungkin kita meninggalkan madzhab
dalam keseharian untuk ibadah dan bermuamalah. Artinya islam radikalis
no-madzhab. Hal ini meresahkan umat islam dalam beragama dan berpijak penuh.
Nyaris gagal dan dibuat ribut, hingga timbul pertanyaan di masyarakat kita.
Dalam buku klasik, Sughro karangan imam Sanusi, tertulis, bahwa imam dan
ulama islam bukan disebut panutan jika mencecar ulama empat madzhab. Sangat
miris, jika umat islam di negara kita hanya sebagai batu loncatan bagi gerakan
neo- fundamentalisme. Yang dikatakan Ayoubi dalam bukunya politik islam: agama
dan politik dalam islam, bahwa neo-fundamentalisme tidak berhasil dalam politik
islamnya yang belum bisa mengubah landscape politik Indonesia.
Lalu bagaimana tindak
resolving problem yang kian menggigit?. Masyarakat Indonesia tampak rindu akan
kelembutan islam seperti bayangan dan harapan islam sendiri. Secara konteks,
islam tidak cukup sekedar penggalian teks secara plur tapi bagaimana islam yang
dijanjikan tuhan sebagai cita-cita rahmatan lil’alamin dari baginda
rasul. Islam puritan dan radikalis tentunya momok terbesar bagi masyarakat,
karena hal demikian lebih melampaui rasionalitas dan sakit yang tak kunjung
sembuh.
Kiranya, para pemimpin,
ulama dan sarjanawan perlu mendialektikkan segera usaha pemberantasan islam
radikal yang menelusuri sendi-sendi kompleksitas pemikiran. Supaya tidak
serta-merta menilai secara mentah dari tujuan islam radikalisme. Seluruh
lapisan hendaknya aktif dalam dinamika peleburan dialog antar aliran.
Pertama, yang mungkin
dilakukan adalah, perubahan secara kultur, misalkan mengaktifkan kembali kajian
dan pengajaran juga pengenalan berbau Aswaja yang tampaknya baru-baru ini
luntur.
Kedua, mengoptimalkan
kader pemuda untuk ikut berkecimpung dalam legitimasi pemikiran yang beraneka
ragam, sehingga pacuan tidak sebatas apa yang didapat.
Ketiga, mengadakan
sarahsehan dan dialog antar aliran melibatkan seluruh elemen ormas yang
mewadahi islam secara relevan.
Keempat, meningkatkan rasa
nasionalisme dengan membangun kembali apa makna nasionalisme dan mengenalkan
apa itu Negara khilafah yang menjadi impian kaum radikal. Juga, membangkitkan
semngat pancasila dan UUD 1945 berbasis nasionalis.
Cukup sekian penulis
memberikan sekelumit ingatan tentang islam radikalis dan teroris, kiranya
sebagai umat islam yang berhaluan Aswaja dan bermadzhab, kita bisa mengaca diri
atas refleksi sejarah pemikiran islam toleran yang diajarkan ulama kita dahulu
dan islam sebagai rahmatan lil’alamin. Wallahua’lam bisshowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar