Senin, 19 Agustus 2013

Turats bagi Kebutuhan Perempuan




Oleh Mei Rahmawati Tabrani

Sesungguhnya penilaian yang berkutat pada kandungan umum teks turâts (warisan-tradisi, heritage, patrimoine, legacy) dan sama sekali abai terhadap pendekatan linguistik dan mantiq (logika) yang membentuknya, hanya akan menjerumuskan pada pandangan fragmentaris terhadap turats-Taha Abdurrahman-

Sebuah kehidupan di dunia pasti melahirkan sejarah. Sejarah baik yang terbentuk secara lahiriyah atau duniawiyah. Kehidupan lahiriyah dimana manusia ada sebelum tiada dan duniawiyah, manusia terikat oleh yang namanya agama, pemikiran dan adat-istiadat. Katakan suatu sejarah di sini lebih bermakna plural, pasti semua sejarah itu memiliki aturan yang wajib diadakan sesuai keberadaan dimana manusia bertahan hidup bersama-sama. Ketika suatu tradisi (turats) diasumsikan sebagai hal yang dilarang untuk mengsumsikan sesuatu, ia bagai sesuatu yang berkelamin tunggal, karya agung yang tidak boleh disentuh untuk merekonstruksi bagi bukan haknya  dan mempunyai wilayah kuasa tertentu.



Evolusi masa ke masa selanjutnya mempunyai sejarah yang berkepanjangan, dia bersifat acak dan bias. Sedang kebutuhan manusia dari generasi ke generasi tidak bersifat konheren dan komprehensif, dalam artian manusia butuh akan hal baru dan peradaban baru. Karena turats merupakan hasil buah pikiran manusia pada masanya, maka hal ini harus diperkuat dengan fakta ilmiyah dan ijtihad relevan. Penulis bermaksud bahwa eksistensi kelahiran turats menjadi PR wajib ulama mujtahid dengan seperangkat ijtihad menggali hukum sesuai dalil yang suci dan aqliyah. Pertanyaan yang akan timbul: jika turats hasil galian ulama masa lampau, apakah keberadaan turats ini menjadikan manusia terbelakang dalam mengikutinya sedang tantangan jaman begitu banyak sesuai kebutuhan dan perubahan masa? Bagaimana umat menghadapi pembaharuan? Apa yang dimaksud relevansi turats dalam menjawab tantangan jaman? Apakah ada halangan antara turats dan kebutuhan perempuan?

Turats jika kita terminologikan mempunyai makna majemuk; turats sebagai taqlid, adat atau norma tak tertulis, turats sebagai tradisi klasik ulama atau pemikir terdahulu dengan norma tertulis misal dalam hal filsafat, tasawuf, ilmu kalam, hadist Nabi dan tafsir. Atau dalam hal ilmiah seperti matematika, fisika, biologi dll.

Turats yang dimaksud di sini adalah wacana keislaman. Mungkin satu sample sebelum kita menuju sejauh mana relevansi turats, mari mengqiyaskan dengan buah pikiran Nasr Hamid Abu Zaid bahwa dalam karya Naqd al Khitob al Diin disampaikan apakah sama agama dengan pemikiran agama, tentu berbeda bukan, terma yang disampaikan tradisi dengan pemikiran tradisi islam tentu mengandung perbedaan. Beragam pandang terhadap posisi turats islam berada pada dua wilayah; salafi-konservatif yang mengganggap turats wajib dibumikan dengan realitas modern, dan kontemporer modernis liberal yang menilai turats sebagai batas kesadaran yang sudah basi sebagai sisa masa peradaban klasik yang perlu didekonstruksi. 

Pasca reruntuhan kerajaan Baghdad oleh tentara Mongol di bawah kuasa Hulagukhan, menenggelamkan semua perpustakaan al Hikmah, khazanah Islam yang tersimpan. Warisan keilmuan islam kecolongan oleh barat, sehingga menimbulkan sikap isolasi diri dari para orientalis. Banyak lahir kejumudan dan kemandegan media wacana islam, chauvinism jiwa patriotic merajalela dan akhirnya taklid lahir dimana-mana. Di abad pertengahan dimana masa skolastik barat lahir, maka penting di belahan timur banyak mengalami kebangkitan, turats kitab kuning banyak mewarnai corak peradaban islam. Turats yang seolah membangun umat, mengalami polemik dengan datangnya penerjemahan barat yang berusaha menyatukan ide gagasan nalar dan akhlakhiyat untuk didekonstruksi. Sehingga fragmentasi inilah yang membuat turats mengharmonisasikan islam secara friendly.

Di abad pertengahan di saat islam melalui masa pencerahan, ulama nusantara banyak menyebar di semenanjung arabia, Timteng dan di nusantara sendiri. Katakanlah seperti imam Nawawi al Bantani pada tahun sekian, beliau lama sekali di Arab untuk rihlah tolabul ‘ilmi untuk mengambil ilmu dari masyayikh yang kemudian membuat karya ‘uquddullujain. Imam al Fadani dari Padang membuat karya Hadist dll. Atau banyak juga sebaliknya, Imam Ibnu Bathutoh menganalisa peradaban Nusantara Indonesia. 

Sikap Merelevansikan Turats bagi Perempuan

Sudah menonton belum film perempuan berkalung sorban yang dimainkan artis cantik Revalina Estemat sebagai santri pesantren salaf Nurul Huda, Jatim? Penggambaran karakter di film tersebut sangatlah kompleksitas yang diwarnai banyak problem yang berkelindan satu sama lain. Revalina, seorang anak kyai, sekaligus santri dan istri dari seorang kyai muda  yang mempunyai wawasan luas dan keinginan begitu jauh ke depan. Kontradksi antara karakternya dengan pesantren begitu kuat hingga mengakibatkan cita-cita kuliahnya terhambat sebagai perempuan yang ingin membebaskan dari belenggu pendiskriminasian, selin itu bacaan novel modern seperti karya Pram, Bumi manusia dan jejak langkah dibakar ludes. Terdapat adegan menarik, ketika suasana pesantren akan ketat memurnikan pengajian kitab uqud dullujain. Salah seorang santri menanyakan, bagaimana hukum seorangistri sebaliknya yang meminta bersetubuh dengan suaminya? Dengan serta merta dibentak. Secara sadar, turats sangat diagungkan dan disucikan dari dunia pesantren.

Agaknya konservatif timbul dari penayangan film, jika kita tarik benang merah, justeru membawa kita untuk memahami bagaimana peran turats yang dibenturkan dalam dunia pesantren dan luar pesantren khususnya objek di sini perempuan. 

Turats atau biasa yang kita sebut kitab kuning merupakan hasil ijtihad para ulama klasik, yang berusaha mensinergikan anatara kalam Tuhan dengan ruang social masa itu. Kalam tuhan sebagaimana kita yakini sebagai umat islam bahwa ia perlu dipahami secara rinci melalui hadist, atsar, perangkat fikih dan ijma’ qiyas. Bukan nihilisme dari akal murni. Maka kemurnian turats terjaga hingga sekarang khususnya di pesantren.

Bagaimana sepak terjang perempuan dalam menghadapi turats? Turats atau kitab kuning bagai hukum tuhan yang terbaca darinya untuk mengatur ibadah habluminalloh dan hablu minannas. Tidak sedikit kita jumpai Uquddulujain mognum opusnya syekh imam Nawawi al Bantani, Fathul Mu’in, Bulughul Maram karya syarah hadist imam Ibnu Hajar al Asqolani dan Risalatul mahidz

Kitab uquddulujain yang dianggap patriarkhis oleh beberapa pihak menganggap jika kitab ini banyak membuat keterpihakan untuk laki-laki. Contoh seperti perempuan wajib membasuh kaki memakai air hangat sewaktu pulang kerja suami dihukumi wajib ‘ain, wajib menghardik istri ketika ia tidak mendengar nasihat suami maka diperintahkan untuk membelakangi tidur atau pisah ranjang. Turats semacam ini banyak mengundang bias teks gender oleh pembaca biasa (santri) yang kadarnya belum mememasuki mujtahid sehingga dalam beberapa kajian gender ayat-ayat semacam ini melahirkan ide pemikiran ayat misoginis.

Dalam hadist bahwa perempuan itu setengah agamanya, disini bukan diartikan bahwa perempuan setengah imannya dalam berislam namun justeru memberi dispensasi dimana perempuan ada sebagai kodratnya juga toleran terhadap  pemberian hak asasi.

Ayat misoginis lain, misal Hadist – Hadist yang terangkum dalam karya Imam an Nawawi ra:
كلكُم راعٍ و كُلّكم مسئول عن رعيته. الأمرُ راعٍ, والرجل راعٍ علي أهل بيته و المرأة راعية علي بيتِ زوجها و ولده فكُلكُم و كُلكُم مسئول عن رعيّته
Semua kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin, lelaki (suami) adalah pemimpin di rumah tangganya, perempuan (istri) adalah pemimpin di rumah suaminya dan terhadap anak-anaknya. Semua kamu adalah pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya” (HR. Bukhari dan Muslim melalui Abdullah Ibnu Umar ra.).

Sepanjang perjalanan islam mengalami baku perjuangan cukup lama dan peradaban yang tinggi. Islam lahir yang notabenennya arabisme kental akan budaya ketimuran. Sewaktu Imam Syafi’I katakanlah membuat eksperimen tentang konsep Haid, beliau cukup analisis kuat dengan mewawncarai semu perempuan kampong wilayah tersebut dengan cara quru’, baik hasil tenggang waktu, usia dan warna darah. Sama halnya ketika beliau pindah di Mesir, manhaj jaded mewarnai karya fikih beliau. Nah, maka halyang perlu distabilo adalah, bagaimana perempuan relevan untuk mengaplikasikan turats sesuai perkembangan jaman? Apakah kita perlu untuk berijtihad sendiri? Itba’ (mengikuti) atau membebek (taklid)?

Bagi para feminis (pejuang kesetaraan gender liberal) mengartikulasikan gender melalui senjata humanis social di era modern dengan menginginkan kebebebasan mutlak perempuan sebagai manusia modern bukan robot, artinya turats perlu dibongkar ulang. Psikoanalisa Sigmund Freud meneliti psikis perempuan bahwa tekanan social masyarakat banyak dilakukan oleh para laki-laki dan agama. Bukan lingkup public yang parah tapi tekanan mental bagi perempuan membuat doktrin-doktrin yang mengganggu saraf kerja otak perempuan untuk mendapatkan haknya.  Bagi para kaum radikal, anggapan baku turats wajib sesuai dengan al-qur’an dan hadist secara lugu, bagaimana mengikuti turats tampak bias tanpa dua senjata itu (memakai dalil haji wada’ rasul) sekalipun ulama klasik terlabeli ahli takwa, jujur, sholah dan ashlah. 

Yusuf qardhawi menyatakan bahwa turats  yang dibangun berabad-abad tak hengkang oleh waktu dan semua kembali pada al quran dan sunnah juga seperangkat alat ijtihad. Konsep itba’ dan taklid mewarnai karyanya terkhusus bab turats dalam kaifa nata’ammal ma’a turats, al bayan, dan fikih lainnya. Pembebek terblacklist ketika jauh dari syarat menjadi mujtahid, sedang bagi para pemuda yang belajar belum disebut mujtahid karena ia murshid. Sepakat dengan imam Syaukani bahwa bermadzhab tidak harus dengan fanatisme kemadzhaban, tidak boleh bertaklid tapi boleh berijtihad terhadap periwayatan bukan pendapat imam karena agama bukan dibangun seorang pemimpin (imam golongan). 

Terakhir adalah, turats dan modernitas. Penting sikap kritis terhadap turats untuk menjawab tantangan modernitas dengan pembacaan histrologi. Karena sejatinya, dua kata tersebut tak ingin diminta, ia hadir begitu saja tanpa kita sadari. Pengharmonisasian ini bagi al Jabiri dan Arkoun agar turats niscaya sholih fikulli makan wa zaman. Maka, seyogyanya untuk memilah dan memilih kitab turats sesuai kebutuhan, kebutuhan yang dimaksud adalah bagaimana memposisikan turats bukan sebagai lalapan mentah tanpa menganalisa tokoh, biografi tokoh dan apakah relevan dimana bumi kita berpijak yang didasari norma tak tertulis. Kitab turats bukan sebuah karya variable murni dari pemikiran akal, juga bukan wahyu ilahy namun sintesis keduanya menyatukan nalar irfanin ‘aqli dan burhani. Pada akhirnya, berijtihad hukumnya boleh, jika ia benar maka mendapat 2 ganjaran, jika salah mendapat 1 poin. Sebagaimana juga kita menanggapi turats sebagai bentuk apresiasi terhadap ulama klasik. Wallahu a’lam.

*Tulisan ini dimuat di buletin Fatayat PCINU cab. Mesir 20013 edisi  "Relevansi Turats dalam Sepak Terjang Perempuan"

Kairo, 11 Syawal 1434H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar