Oleh Mei
Rahmawati
Tabrani
Sesungguhnya penilaian
yang berkutat pada kandungan umum teks turâts (warisan-tradisi, heritage,
patrimoine, legacy) dan sama sekali abai terhadap pendekatan linguistik dan mantiq
(logika) yang membentuknya, hanya akan menjerumuskan pada pandangan
fragmentaris terhadap turats-Taha Abdurrahman-
Sebuah
kehidupan di dunia pasti melahirkan sejarah. Sejarah baik yang terbentuk secara
lahiriyah atau duniawiyah. Kehidupan lahiriyah dimana manusia ada sebelum tiada
dan duniawiyah, manusia terikat oleh yang namanya agama, pemikiran dan
adat-istiadat. Katakan suatu sejarah di sini lebih bermakna plural, pasti semua
sejarah itu memiliki aturan yang wajib diadakan sesuai keberadaan dimana
manusia bertahan hidup bersama-sama. Ketika suatu tradisi (turats)
diasumsikan sebagai hal yang dilarang untuk mengsumsikan sesuatu, ia bagai
sesuatu yang berkelamin tunggal, karya agung yang tidak boleh disentuh untuk
merekonstruksi bagi bukan haknya dan
mempunyai wilayah kuasa tertentu.
Evolusi masa ke masa selanjutnya
mempunyai sejarah yang berkepanjangan, dia bersifat acak dan bias. Sedang
kebutuhan manusia dari generasi ke generasi tidak bersifat konheren dan
komprehensif, dalam artian manusia butuh akan hal baru dan peradaban baru.
Karena turats merupakan hasil buah pikiran manusia pada masanya, maka hal ini
harus diperkuat dengan fakta ilmiyah dan ijtihad relevan. Penulis bermaksud
bahwa eksistensi kelahiran turats menjadi PR wajib ulama mujtahid dengan
seperangkat ijtihad menggali hukum sesuai dalil yang suci dan aqliyah.
Pertanyaan yang akan timbul: jika turats hasil galian ulama masa lampau, apakah
keberadaan turats ini menjadikan manusia terbelakang dalam mengikutinya sedang
tantangan jaman begitu banyak sesuai kebutuhan dan perubahan masa? Bagaimana
umat menghadapi pembaharuan? Apa yang dimaksud relevansi turats dalam menjawab
tantangan jaman? Apakah ada halangan antara turats dan kebutuhan perempuan?
Turats jika kita terminologikan
mempunyai makna majemuk; turats sebagai taqlid, adat atau norma tak tertulis,
turats sebagai tradisi klasik ulama atau pemikir terdahulu dengan norma
tertulis misal dalam hal filsafat, tasawuf, ilmu kalam, hadist Nabi dan tafsir.
Atau dalam hal ilmiah seperti matematika, fisika, biologi dll.
Turats yang dimaksud di sini
adalah wacana keislaman. Mungkin satu sample sebelum kita menuju sejauh mana
relevansi turats, mari mengqiyaskan dengan buah pikiran Nasr Hamid Abu Zaid
bahwa dalam karya Naqd al Khitob al Diin disampaikan apakah sama agama dengan
pemikiran agama, tentu berbeda bukan, terma yang disampaikan tradisi dengan
pemikiran tradisi islam tentu mengandung perbedaan. Beragam pandang terhadap
posisi turats islam berada pada dua wilayah; salafi-konservatif yang
mengganggap turats wajib dibumikan dengan realitas modern, dan kontemporer
modernis liberal yang menilai turats sebagai batas kesadaran yang sudah basi
sebagai sisa masa peradaban klasik yang perlu didekonstruksi.
Pasca reruntuhan kerajaan Baghdad
oleh tentara Mongol di bawah kuasa Hulagukhan, menenggelamkan semua
perpustakaan al Hikmah, khazanah Islam yang tersimpan. Warisan keilmuan islam
kecolongan oleh barat, sehingga menimbulkan sikap isolasi diri dari para
orientalis. Banyak lahir kejumudan dan kemandegan media wacana islam,
chauvinism jiwa patriotic merajalela dan akhirnya taklid lahir dimana-mana. Di
abad pertengahan dimana masa skolastik barat lahir, maka penting di belahan
timur banyak mengalami kebangkitan, turats kitab kuning banyak mewarnai corak
peradaban islam. Turats yang seolah membangun umat, mengalami polemik dengan
datangnya penerjemahan barat yang berusaha menyatukan ide gagasan nalar dan
akhlakhiyat untuk didekonstruksi. Sehingga fragmentasi inilah yang membuat
turats mengharmonisasikan islam secara friendly.
Di abad pertengahan di saat islam
melalui masa pencerahan, ulama nusantara banyak menyebar di semenanjung arabia,
Timteng dan di nusantara sendiri. Katakanlah seperti imam Nawawi al Bantani
pada tahun sekian, beliau lama sekali di Arab untuk rihlah tolabul ‘ilmi untuk
mengambil ilmu dari masyayikh yang kemudian membuat karya ‘uquddullujain. Imam
al Fadani dari Padang membuat karya Hadist dll. Atau banyak juga sebaliknya,
Imam Ibnu Bathutoh menganalisa peradaban Nusantara Indonesia.
Sikap
Merelevansikan Turats bagi Perempuan
Sudah menonton belum film
perempuan berkalung sorban yang dimainkan artis cantik Revalina Estemat sebagai
santri pesantren salaf Nurul Huda, Jatim? Penggambaran karakter di film
tersebut sangatlah kompleksitas yang diwarnai banyak problem yang berkelindan
satu sama lain. Revalina, seorang anak kyai, sekaligus santri dan istri dari
seorang kyai muda yang mempunyai wawasan
luas dan keinginan begitu jauh ke depan. Kontradksi antara karakternya dengan
pesantren begitu kuat hingga mengakibatkan cita-cita kuliahnya terhambat
sebagai perempuan yang ingin membebaskan dari belenggu pendiskriminasian, selin
itu bacaan novel modern seperti karya Pram, Bumi manusia dan jejak langkah
dibakar ludes. Terdapat adegan menarik, ketika suasana pesantren akan ketat
memurnikan pengajian kitab uqud dullujain. Salah seorang santri menanyakan,
bagaimana hukum seorangistri sebaliknya yang meminta bersetubuh dengan
suaminya? Dengan serta merta dibentak. Secara sadar, turats sangat diagungkan
dan disucikan dari dunia pesantren.
Agaknya konservatif timbul dari
penayangan film, jika kita tarik benang merah, justeru membawa kita untuk
memahami bagaimana peran turats yang dibenturkan dalam dunia pesantren dan luar
pesantren khususnya objek di sini perempuan.
Turats atau biasa yang kita sebut
kitab kuning merupakan hasil ijtihad para ulama klasik, yang berusaha
mensinergikan anatara kalam Tuhan dengan ruang social masa itu. Kalam tuhan
sebagaimana kita yakini sebagai umat islam bahwa ia perlu dipahami secara rinci
melalui hadist, atsar, perangkat fikih dan ijma’ qiyas. Bukan nihilisme dari
akal murni. Maka kemurnian turats terjaga hingga sekarang khususnya di
pesantren.
Bagaimana sepak terjang perempuan
dalam menghadapi turats? Turats atau kitab kuning bagai hukum tuhan yang
terbaca darinya untuk mengatur ibadah habluminalloh dan hablu minannas. Tidak
sedikit kita jumpai Uquddulujain mognum opusnya syekh imam Nawawi al Bantani,
Fathul Mu’in, Bulughul Maram karya syarah hadist imam Ibnu Hajar al Asqolani
dan Risalatul mahidz.
Kitab uquddulujain yang
dianggap patriarkhis oleh beberapa pihak menganggap jika kitab ini banyak
membuat keterpihakan untuk laki-laki. Contoh seperti perempuan wajib membasuh
kaki memakai air hangat sewaktu pulang kerja suami dihukumi wajib ‘ain, wajib
menghardik istri ketika ia tidak mendengar nasihat suami maka diperintahkan
untuk membelakangi tidur atau pisah ranjang. Turats semacam ini banyak
mengundang bias teks
gender oleh pembaca biasa (santri) yang kadarnya belum
mememasuki mujtahid sehingga dalam beberapa kajian gender ayat-ayat semacam ini
melahirkan ide pemikiran ayat misoginis.
Dalam hadist bahwa perempuan itu
setengah agamanya, disini bukan diartikan bahwa perempuan setengah imannya
dalam berislam namun justeru memberi dispensasi dimana perempuan ada sebagai
kodratnya juga toleran terhadap
pemberian hak asasi.
Ayat misoginis lain, misal Hadist
– Hadist yang terangkum dalam karya Imam an Nawawi ra:
كلكُم راعٍ و كُلّكم
مسئول عن رعيته. الأمرُ راعٍ,
والرجل راعٍ علي أهل
بيته و المرأة راعية علي بيتِ زوجها و ولده فكُلكُم و كُلكُم مسئول عن رعيّته
“Semua kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin
bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Penguasa adalah pemimpin, lelaki
(suami) adalah pemimpin di rumah tangganya, perempuan (istri) adalah pemimpin
di rumah suaminya dan terhadap anak-anaknya. Semua kamu adalah pemimpin
bertanggung jawab atas kepemimpinannya” (HR. Bukhari dan Muslim melalui
Abdullah Ibnu Umar ra.).
Sepanjang perjalanan islam mengalami baku perjuangan
cukup lama dan peradaban yang tinggi. Islam lahir yang notabenennya arabisme
kental akan budaya ketimuran. Sewaktu Imam Syafi’I katakanlah membuat
eksperimen tentang konsep Haid, beliau cukup analisis kuat dengan mewawncarai
semu perempuan kampong wilayah tersebut dengan cara quru’, baik hasil tenggang
waktu, usia dan warna darah. Sama halnya ketika beliau pindah di Mesir, manhaj
jaded mewarnai karya fikih beliau. Nah, maka halyang perlu distabilo adalah,
bagaimana perempuan relevan untuk mengaplikasikan turats sesuai perkembangan
jaman? Apakah kita perlu untuk berijtihad sendiri? Itba’ (mengikuti) atau
membebek (taklid)?
Bagi para feminis (pejuang kesetaraan gender liberal)
mengartikulasikan gender melalui senjata humanis social di era modern dengan
menginginkan kebebebasan mutlak perempuan sebagai manusia modern bukan robot,
artinya turats perlu dibongkar ulang. Psikoanalisa Sigmund Freud meneliti
psikis perempuan bahwa tekanan social masyarakat banyak dilakukan oleh para
laki-laki dan agama. Bukan lingkup public yang parah tapi tekanan mental bagi
perempuan membuat doktrin-doktrin yang mengganggu saraf kerja otak perempuan
untuk mendapatkan haknya. Bagi para kaum radikal, anggapan baku turats
wajib sesuai dengan al-qur’an dan hadist secara lugu, bagaimana mengikuti
turats tampak bias tanpa dua senjata
itu (memakai dalil haji wada’ rasul) sekalipun ulama klasik terlabeli ahli
takwa, jujur, sholah dan ashlah.
Yusuf qardhawi menyatakan bahwa turats yang dibangun berabad-abad tak hengkang oleh
waktu dan semua kembali pada al quran dan sunnah juga seperangkat alat ijtihad.
Konsep itba’ dan taklid mewarnai karyanya terkhusus bab turats dalam kaifa
nata’ammal ma’a turats, al bayan, dan fikih lainnya. Pembebek
terblacklist ketika jauh dari syarat menjadi mujtahid, sedang bagi para pemuda
yang belajar belum disebut mujtahid karena ia murshid. Sepakat dengan imam
Syaukani bahwa bermadzhab tidak harus dengan fanatisme kemadzhaban, tidak boleh
bertaklid tapi boleh berijtihad terhadap periwayatan bukan pendapat imam karena
agama bukan dibangun seorang pemimpin (imam golongan).
Terakhir
adalah, turats dan modernitas. Penting sikap kritis terhadap turats untuk
menjawab tantangan modernitas dengan pembacaan histrologi. Karena sejatinya,
dua kata tersebut tak ingin diminta, ia hadir begitu saja tanpa kita sadari.
Pengharmonisasian ini bagi al Jabiri dan Arkoun agar turats niscaya sholih
fikulli makan wa zaman. Maka, seyogyanya untuk memilah dan memilih kitab turats
sesuai kebutuhan, kebutuhan yang dimaksud adalah bagaimana memposisikan turats
bukan sebagai lalapan mentah tanpa menganalisa tokoh, biografi tokoh dan apakah
relevan dimana bumi kita berpijak yang didasari norma tak tertulis. Kitab
turats bukan sebuah karya variable murni dari pemikiran akal, juga bukan wahyu
ilahy namun sintesis keduanya menyatukan nalar irfanin ‘aqli dan burhani. Pada
akhirnya, berijtihad hukumnya boleh, jika ia benar maka mendapat 2 ganjaran,
jika salah mendapat 1 poin. Sebagaimana
juga kita menanggapi turats sebagai bentuk apresiasi terhadap ulama klasik. Wallahu
a’lam.
*Tulisan ini dimuat di buletin Fatayat PCINU cab. Mesir 20013 edisi "Relevansi Turats dalam Sepak Terjang Perempuan"
*Tulisan ini dimuat di buletin Fatayat PCINU cab. Mesir 20013 edisi "Relevansi Turats dalam Sepak Terjang Perempuan"
Kairo, 11 Syawal 1434H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar