Oleh Mei Raahmawati
Indonesia
terkenal dengan sebutan negeri agraris.
Sawah dan ladang terbentang luas. Sengkedan tersusun rapi, kotak-kotak
dan hijau segar warnanya. Setiap pagi buta, tidak sedikit bapak dan bu tani
berbondong-bondong membawa cangkul, arit dan sapi atau kerbau untuk dibawa ke
sawah. Dengan senyum semangat, langkah
kaki menancap jalanan berbatu dan aspal juga menapaki dataran tinnggi. Siang hari, mereka
pulang kerumah. Sebagian petani penuh bahagia, mereka beristirahat menikmati
hidangan yang dibungkus di rantang buatan istri dan anaknya, sambil menunggui
sawah dan mengusir burung nuri, elang dan tikus sawah dengan tali dan
orang-orangan.
Hidup
tidak selamanya berjalan lurus, kadang di atas dan di bawah. Musim paceklik
cukup menyulitkan petani untuk mengairi sawah. Untuk membeli air pun, tidak
mungkin selamanya bergantung, karena air juga memerlukan uang untuk membelinya.
Tidak hanya sawah yang memerlukan air. Ladang, kebun, tambak dan kolam buatan
pun memerlukan air. Di sisi lain, permasalahan muncul di desa tetangga.
Banyak penebang liar menebang pohon
gelondongan yang terletak di sekitar lereng pegunungan, untuk di angkut ke kota
guna dijadikan mebel dan furniture lainnya. Akibatnya, halilintar dan hujan
deras mengundang erosi dan tanah longsor. Para penduduk kehilangan kendali
melihat rumah banjir, bahkan genting dan asbes atap rumah berterbangan terkena
angin kencang. Sawah tergenang air karena sawah tadah hujan belum mampu
mengatasi erosi tersebut.
Tanah
di perkotaan cukup padat, selain itu membeli tanah permeter, harganya melangit.
Salah satu faktor tersebut mengapa pengusaha kota berdatang ke desa untuk
bertemu dengan tuan tanah. Sawah dan ladang dibeli untuk dijadikan perusahaan,
alfamart, indomart, mall kecil atau pemukiman villa. Di lain sisi, tuan tanah
tak berfikir panjang untuk menyewakan atau menjual tanah sawah yang sekiranya
tandus. Maka mulailah sedikit demi sedikit desa menjadi sempit, banyak para
transmigran berbondong pindah, bertugas di perusahaan itu. Listik masuk desa,
aspal diperhalus menjadi jalan, pemukiman semakin padat, gunung berubah menjadi
daratan dan jalan, angkutan umum pun tak ketinggalan.
Para
petani kehilangan arah, tak ada lagi aktifitas pagi buta, sapi dan kerbau di jual. Pada akhirnya, cukup
sulit untuk mencari sesuap nasi karena kehilangan skill dan kerja mereka sebagai
pemilik sawah dan buruh tani. Fungsi kerbau, sapi, cangkul dan traktor menjadi
mesin dalam perusahaan. Sebagian penduduk mengadakan urbanisasi ke kota demi
mencari sesuap nasi. Pekerjaan apapun mereka lakukan sesuai kemampuannya.
Dari peristiwa diatas, kita bisa menyimpulkan
ada dua problem. Problem pertama adalah segi intern, petani seyogyanya untuk
menyimpan padi agak banyak di lumbung. Sehingga ketika paceklik melanda, ia
sigap mengatasinya. Selain itu, dibuatkan sawah tadah hujan, reboisasi di
beberapa daerah yang rawan erosi atau tanah gundul, sehingga cara ini cukup
untuk mengatasi terjadinya banjir tinggi. Sengkedan pun berfungsi supaya air
tidak menggenangi padi dan tanaman mereka.
Dari segi ekstern, kepala desa, cukup peka
untuk memikirkan problem masyarakatnya, dengan mengadakan penyuluhan petani
yang baik, atau memantau dari dekat. Selain itu, penebangan pohon secara liar.
Problem ini tidak jauh beda dengan solusi diatas, karena harus ada
kesinambungan baik dari masyarakat desa dan pemerintah. Pemerintah hendaknya
menanggapi masalah ini secara cepat. Perlunya komunikasi aktif antara
pemerintah atau menteri pertanian untuk membuat perundang-undangan bagi para
pengusaha, supaya ada beberapa wilayah persawahan yang tidak gegabah dijadikan
perusahaan, tidak semua sawah karena hal
ini untuk memudahkan penanggulangan, jika terjadi problem di kemudian hari.
Seperti, produksi beras akan menurun, sehingga langka di pasaran dan melebar
pada harga beras naik. Fungsi tenaga manusia berkurang karenadiganti fungsi
mesin, mesin pun butuh suplai minyak dan oli untuk menjalankannya. Sumber daya
manusia semakin merosot. Bahkan masyarakat asli kehilangan pekerjaan dan
melukai HAM.
Ham
adalah singkatan dari Hak Asasi Manusia. Hak yang paling mendasar adalah hak
hidup secara aman, nyaman dan sentosa. Jika HAM dicerabut dari fungsinya, sama
halnya dengan perbudakan. Bagaimana mungkin indonesia dengan cita-cita merdeka
dari penjajah, tetapi terkena penjajahan di tangan bangsa pribumi. Ini hal yang
sangat tidak berprikemanusiaan sesuai pancasila. Sumber daya alam semakin menurun
dan sia-sia karena tenaga manusia belum diaktifkan secara positif dan etik,
sehinnga punah, hancur dan diambil secara tidak wajar, liar dan berlebihan
tidak sesuai Undang-undang dan aturan hukum.
Di
sisi lain, para urban kesulitan mencari kerja sesuai dengan kemampuannya.
Pemukiman kota padat semakin membludak, banyak para tuna wisma, rumah kardus di
bawah jembatan, bahkan perempuan menjadi peran ganda dari seorang laki-laki. Ekonomi
semakin morat-marit, pengangguran dimana-mana dan kemiskinan melanda. Terkait
perempuan, fungsi ganda agak sulit melakukannya, karena keterbatasan skill yang
dimiliki. Dampak tersebut melanda sisi keperempuanan juga. Banyak perempuan
bekerja sebagai pelayan bar, tuna asusila, dan berdampak pada prostitusi dan
aborsi. Permasalahan semakin rumit, melebar dan kemana-mana.
Dampak
tingkat kemiskinan dan pengangguran meninggi, salah satu upaya pemerintah dan
kementrian ekonomi mengadakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakt Mandiri
pada tahun 2007 di Palu, SulTeng. Usaha ini dilakukan untuk memperkecil tingkat
kemiskinan dan memberi luang lapangan kerja baik bagi petani kecil, petani
pemilik, petani penggarap, buruh tani dan keluarga tani. Dengan tujuan yang
sama departemen pertanian membuat Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian pada
tahun 2008 dengan integrasi pertanian. Namun, usaha ini tidak lama bertahan,
karena belum maksimal dalam pengendalian cuaca, air dan pupuk juga insektisida.
Sektor
pertanian di Indonesia cukup luas, dari beberapa sawah bukan hanya milik petani
kecil tetapi juga para pengusaha yang memiliki investasi agrobisnis di desa,
yang membanting harga dan mengurangi nilai jual panen padi milik pengusaha
kecil. Tulisan di atas berangkat dari
fakta para tani unjuk rasa di depan pemerintah dan perusahaan di benteng
Kuto Besak, Palembang, untuk memperingati hari Tani pada tanggal 24 September. Hal
yang sama dilakukan di Senayan Jakarta dan Sulawesi Tengah. Demo tersebut
dilakukan pada masa peringatan hari Tani. Artinya di sini, pemerintah mempunyai
PR cukup besar dalam menyayangi petani dan rakyat kecil pengangguran pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar