Oleh
Mei Rahmawati Tabrani
Languange
is not simply a formal system of sounds, words and syntactical structures;
languanges also reaches into the domain of huan interactions, which for its own
part follows certain rules
– Adele Osterloh, 1996 -
Beragam etnik dari baju adat, bahasa, rumah, adat-istiadat, makanan
dsb dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kekayaan alam serta lautan meluas dari
sabang sampai merauke memancarkan pesona sendiri. Tambak, sawah dan ladang
terbentang kehijauan dan menguning. Maka tak heran jika Indonesia dikenal bangsa
lain dengan negara agraris dan maritim. Di lain hal, ketika kita
merantau dari kampung jawa ke kampung sumatra maka sangat jauh berbeda
kebiasaan atau tradisi mereka. Dialek berbahasa satu kampung dari kampung
sebelah saja berbeda. Inilah warisan nenek moyang kita yang termaktub dalam
sankskerta dan manuskrip lainnya.
Membahas bahasa kaitannya dengan membangun jiwa moral berbangsa
cukup menarik. Bahasa jawa misalkan, berapa puluh dialek agak mirip kita temukan.
Jawa Timur dan Jawa Tengah tentu berbeda dalam menkonsonankan bahasa, bahasa
Jawa Tengah dan bahasa Jawa Barat lebih berbeda, apalagi bahasa pulau seberang.
Maka tak heran, jika bahasa Indonesia wajib dibumikan di atas tanah pertiwi.
Seiring sejalan bahasa Indonesia diresmikan dalam sumpah pemuda dengan
dicetuskannya “Piagam Jakarta” bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan
alat pemersatu rakyat Indonesia. Dengan tutur kata santun dan etis menimbulkan
rasa simpati antar individu, pun demikian berhasil dalam membangun karakter
bangsa.
Pembangunan karakter bangsa sebagai wujud moralitas berbudaya,
wajib ada integrasi lingkungan sebagai sanitasi moralitas yang baik. Hal ini
anak-anak sebagai sasaran penting dalam membangunnya dengan suntikan moral
dalam lingkungan yang baik pula. Integrasi 3 pihak tersebut adalah peran rumah,
sekolah dan lingkungan. Presiden tidak mngkin dong mengurusi moral secara satu
persatu. Kaitannya dengan anak, usia penanaman moral berkarakter dibangun di
bawah usia 7 taun, demikian hasil riset otak terakhir. “Karena salah didik
mempengaruhi saat ia dewasa” (Ratna Megawangi, 2003).
Kata ora ilok/ora elok sangat sering sekali terucap dari
mulut orang tua kita terdahulu, kata-kata itu lahir sebagai jawaban untuk
menasihati anak-anaknya atau orang yang paling muda supaya mengakhiri sikap
atau ucapan yang kurang santun. Seakan kata-kata ora ilok ini sebagai
keharusan yang harus ditaati supaya tidak kuwalat. Contoh lain; dilarang makan
di depan pintu rumah karena bisa menolak jodoh, larangan memotong kuku dan
tidur pagi karena mendatangkan seret rejeki, larangan keluar di atas jam 6
malam karena dimakan gendruwo dll. Sejatinya, patut bagi kita untuk mengetahui
apa di sebalik itu semua. Memang terkesan takhayul, kuno dan mitos yang
diwariskan dari nenek moyang kita. Padahal kata-kata tersebut sarat akan makna,
dimana mereka ingin mengajarkan arti moral dan etika yang baik dengan
pengandaian dan analogi.