Kamis, 27 September 2012

Pak Pemerintah dan Pak Pengusaha, Tolong Dengarkan Kami Para Tani!


Oleh Mei Raahmawati

Indonesia terkenal dengan sebutan negeri agraris.  Sawah dan ladang terbentang luas. Sengkedan tersusun rapi, kotak-kotak dan hijau segar warnanya. Setiap pagi buta, tidak sedikit bapak dan bu tani berbondong-bondong membawa cangkul, arit dan sapi atau kerbau untuk dibawa ke sawah.  Dengan senyum semangat, langkah kaki menancap jalanan berbatu dan  aspal  juga menapaki dataran tinnggi. Siang hari, mereka pulang kerumah. Sebagian petani penuh bahagia, mereka beristirahat menikmati hidangan yang dibungkus di rantang buatan istri dan anaknya, sambil menunggui sawah dan mengusir burung nuri, elang dan tikus sawah dengan tali dan orang-orangan.

Selasa, 18 September 2012

Feminisme; Sebuah Perjuangan yang Tak Pernah Usai




Oleh Mei rahmawati*


Secara historis, agak sulit untuk melacak secara pasti kapan istilah dan bentuk gerakan feminisme itu muncul. Kata feminisme sendiri mulai banyak digunakan oleh kebanyakan kalangan gerakan perempuan Selatan sejak akhir abad XIX dan awal abad XX, sementara kalangan gerakan perempuan Utara menggunakan istilah feminisme sebagai sebuah paham/ideologi untuk melakukan perubahan masyarakat, terutama dengan pendemokrasian kehidupan rumah tangga, masyarakat dan politik, ekonomi serta mengakhiri diskriminasi rasial.

Pada paruh perjalanannya, istilah feminisme pun tidak dengan sendirinya identik dengan berbagai gerakan perempuan. Dengan pengertian lain, tidak semua gerakan perempuan sama dan mau disamakan dengan feminisme, meskipun isu dan persoalan perempuan yang diperjuangkannya relatif sama dengan isu-isu yang menjadi sasaran kritik dan perjuangan feminisme itu sendiri. Mungkin ketidak-identikan gerakan perempuan dan feminisme lebih disebabkan oleh sejarah kemunculan keduanya, dimana feminisme lebih identik dengan Barat. Tetapi lambat laun, feminisme semakin mengalami perubahan, bukan hanya adalam tataran diskursif semata melainkan juga dalam lokus perjuangan yang dilakukan. Untuk itu bukan lagi merupakan sesuatu yang penting untuk memperdebatkan apakah gerakan perempuan itu harus identik dengan feminisme atau tidak. Bagaimanapun keduanya tetap bisa berjalan beriringan, karena keduanya sama-sama memperjuangkan permasalahan kaum perempuan yang memang selama ini menjadi lahan diskriminasi dan sub-ordinasi.

Dalam Islam sendiri, patut dimaklumi bahwa bukan hal yang mudah untuk membayangkan titik temu antara feminisme di satu sisi dan Islam di sisi yang lain meskipiun dalam  banyak hal berusaha dicontohkan bahwa keduanya bisa sejajar dan bahkan bisa menginspirasi satu sama lain. Persoalan yang cukup mendasar adalah karena feminisme -sebagai sebuah gerakan dan disiplin keilmuan- merupakan fenomena yang tidak pernah muncul di dunia Islam, sementara Islam sendiri tumbuh dan berkembang di tanah Arab yang dikenal cukup kuat cengkeraman patriarkinya.  

Dalam pola berfikir, berinteraksi, gerak dan waktu untuk bersosialisasi, perempuan merupakan makhluk yang lemah dibanding kaum Adam. Secara biologis pun disebutkan perbandingan 9:1, yang berarti bahwa 9 milik laki-laki dan 1 milik perempuan dalam segi pola pikir. Namun hal ini lain, 1:9 dilihat dari segi psikis. Artinya, perempuan selalu mengedepankan perasaan. Namun Allah menciptakan ini semua terdapat hikmah tersembunyi. Dimana perbedaan itu adalah sebagai suatu simbol untuk melengkapi kehidupan. Dengan kelembutan, ketelatenan yang dimiliki oleh kaum perempuan menjadikan tanggungjawab dalam beberapa urusan rumah tangga bisa terselesaikan. Misalnya saja mengasuh dan mendidik anak, mencuci, bersih-bersih rumah, mencuci dan lain sebagainya. Namun demikian apakah perempuan tidak memiliki hak untuk bersosialisasi dalam masyarakat, beragama atau dalam hal memimpin. Inilah diskursus yang selama ini diusung oleh para pejuang kaum perempuan. Dimana kaum perempuan tak jarang dianak-tirikan dan tidak diperkenankannya memposisikan apalagi mengangkat kesetaraan perempuan (gender) dalam sektor-sektor kehidupan. walaupun memang kaum perempuan tidak bisa mengingkari terhadap “doktrin” yang menyatakan bahwa sekuat-kuatnya perempuan belum bisa menandingi kaum Adam. Itu adalah doktrin keniscayaan.

Selasa, 11 September 2012

MARYAM; KAJIAN KOMPARATIF TEOLOGIS ANTARA ISLAM DAN KRISTEN


Oleh Mei Rahmawati[1]

Surga digambarkan dengan tempat yang asri, sejuk, tanaman-tanaman, binatang-binatang jinak, taman indah, bidadari cantik dan apa saja yang diinginkan dari surga tercapai. Sedangkan  neraka digambarkan dengan jurang api mendidih dicampur timah dan nanah. Di sana tidak ada bidadari, tapi ada setan, jin dan manusia yang disiksa, baik leher tergantung, badan disetrika dan terlilit ular. Dari gambaran di atas, jelas bahwa kebanyakan rasul mengajarkan dan mengenalkan agama melalui cerita dan dongeng para kenabian untuk mudah dicerna bagi sang pemeluk agama.
Agama tidak mampu diraba secara nalar, karena Tuhan bagi sang hamba hanya mampu dirasakan secara batin bagi seawam apapun tentang agama, bahkan ulama yang tinggi ilmu agamanya. Hal ini digunakan semacam metode pendekatan secara implisit bagi seorang pengarang, sang pemikir atau pengkaji agama untuk memahamkan makna dari isi al-Qur’an atau al-Kitab. Seorang penulis berasal dari Arab, Kholafullah, menalarkan ayat Tuhan dengan sesuatu yang sangat renyah dicerna. Teori kemapanan dia untuk mendialogkan suatu ayat sangat fantastis. Irfani, burhani dan bayani, tiga konsep dibentuk dalam satu metode dan menghasilkan seni ayat Tuhan yang dikemas dalam cerita dongeng dan kisah. Sebagaimana irfani, dalam dunia sufistik, sang sufi mengkontemplasikan agamanya untuk menyatu di ruang jiwa.[2] Tidak jauh dengan agama Kristen, keyakinan hukum trinitas disakralkan dalam penamaan Tuhan. Trinitas bukan diambil sebagai simbol atau ideologi umat Kristiani baik Koptik, Protestan atau Katolik, tapi sebagai hukum yang terpatri dalam keyakinan. Tuhan Bapak atau ruh al-qudus (Allah), Tuhan anak (Yesus) dan Tuhan Ibu (Maria).  Nanti akan kita jelaskan yang menjadi tema pokok kajian kita.

Selasa, 04 September 2012

Mey Ziyadah



Oleh Mei Rahmawati


Mey Ziyadah atau dijuluki dengan An Nabighoh Mey, salah satu tokoh pembangkit modernisme Arab. Memulai karier sebagai kolumnis muda sekaligus penyair berbahasa Perancis. Orasinya sangat memukau ketika dipercaya untuk mendeklamasikan puisi Khalil Gibran, pada perayaan para penyair di Opera 24/4/1923 bersama kawan karibnya, Khalil Matron. Orasi Mey dikenal dengan suara lantang, lafad Arabnya mengalir dan penjelasannya yang gamblang membuat para penonton terkagum-kagum. Perayaan ini dihadiri para penulis dan penyair Arab.